|
||
FDIB Scientific E-Zine @ 3-2001 | ||
Kerusuhan
dan Eksklusivitas Beragama1)
Khoirun Niam2)
A. Kerusuhan di Indonesia: Sebuah Pengantar Sebenarnya tidaklah mengherankan kalau kita melihat kerusuhan yang datang silih berganti di Indonesia akhir-akhir ini kalau kita melihat akar sejarahnya. Sejak Tanah Air kita masih dalam bentuk kerajaan, kerusuhan-kerusuhan itu sudah tumbuh, baik karena ditumbuhsuburkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan ataupun sebagai wahana protes sosial melawan ketidakadilan. Karena kerusuhan sekarang ini berada dalam ruang sejarah kita, maka kita pun dituntut untuk mengkritisinya, mencermatinya atau lebih jauh dari itu mencoba mencarikan solusi dan bahkan lebih dari itu berusaha dengan aksi nyata menghentikannya. Demikian itu karena korban telah begitu banyaknya, baik korban materi maupun non materi yang informasinya dapat kita ikuti secara rinci lewat media massa, terlepas apakah informasi itu benar 100% atau tidak. Melihat banyaknya korban yang berjatuhan, sampai-sampai Rizal Mallarangeng menyebut bahwa manusia yang satu menjadi srigala bagi manusia yang lain (lupus est homo homini). Para ilmuwan kita telah berusaha mencari akar masalah terjadinya kerusuhan itu yang bisa kita klasifikasikan dalam beberapa point berikut:
B. Eksklusivitas Beragama: Tantangan Baru? Sebenarnya kita sudah diperingatkan oleh sebuah buku yang berjudul "Nation in Turmoil, Religion, Etnicity and Self-Identity" yang diedit oleh Martin E. Martin. Sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, Martin menyebutkan bahwa pada penghujung abad ke-20 dunia dan media massa tidak lagi meyebut ideologi komunisme atau nasionalisme sebagai ancaman dan sumber konflik, melainkan telah bergeser pada gerakan keagamaan dan sentimen etnis yang militan. Gerakan keagamaan dan sentimen etnis itu dikenal dengan istilah "etnoreligious" yang gerakannya berawal pada penekanan spiritualitas dan moral yang kemudian berbaur pada pencarian dan pengukuhan identitas etnis dan suku dan berujung pada perebutan kekuasaan politik. Salah satu ciri menonjolnya adalah fanatisme dan eksklusivisme. Yang menarik seperti apa yang dituturkan oleh Komaruddin Hidayat adalah pencariannya terhadap akar kata gerakan di atas. Fanatik disebutnya sebagai berasal dari bahasa Latin "fanum" yang berarti rumah suci untuk kegiatan ritual keagamaan. Begitu masuk fanum maka seseorang akan menutup pintu dan memutuskan diri dari dunia luar sehingga seseorang akan kehilangan perspektif komparatif. Itulah sebabnya kata fanatik berkonotasi negatif dan eksklusif, karena sulit untuk menerima pandangan yang berbeda. Kebalikan fanatik adalah "pro-fane" yang berarti orang yang masih berada di luar ruangan. Mereka adalah "the others" atau "outsiders" yang berbeda dan mengancam sehingga harus dimusnahkan. Pandangan seperti itu kalau diterapkan dalam agama akan sangat berbahaya bagi kelangsungan manusia. apalagi kalau justru dicarikan legitimasi pada ajaran agama. Sikap eksklusif dalam beragama bercirikan pada pandangan bahwa orang lain "the others" ataupun "out group" berada pada luar garis agama yang dipeluknya. Mereka berada di luar dan tidak termasuk di dalamnya. Dalam melihat kebenaran maka seorang yang eksklusif mengekpresikan kebenaran secara monolitik, dalam arti subyektifitas kebenaran yang diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini orang lain. Eksklusivisme mengakui kebenaran universal suatu agama dan menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran universal itu. Seorang yang eksklusif menginginkan agar orang yang tidak seagama dengannya berubah menjadi seagama dengannya. Orang yang memiliki sikap eksklusif menganggap bahwa penyebaran agama dilakukan dengan cara meneriakkan bahwa agamanya adalah satu-satunya yang benar dan pada saat yang sama mereka mencaci maki agama-agama lain dengan harapan mereka pindah agama. Sikap seperti itu terbukti banyak menimbulkan permusuhan dan kebencian dari orang yang dicela. Sebaliknya bersikap ramah kepada penganut agama lain tidak jarang menimbulkan simpati. Dalam kajian etnology terdapat terminologi sikap sosial yang lebih "garang" dari sikap keberagamaan yang eksklusif di atas, yaitu sikap sebagaimana yang disebut Robert A. Levine dan Donald T. Cambel sebagai "etnocentricisme". Suatu sikap yang memandang kelompoknya, golongannya, ataupun sukunya sendiri (ingroup) mempunyai keunggulan dari pada kelompok, golongan, dan suku yang lain (outgroup). Secara rinci sikap dan prilaku ingroup dalam memandang outgroup dapat digambarkan sebagai berikut: Ingroup:
Outgroup:
Nampaknya teori
di atas berlaku di belahan Nusantara kita yang sedang mengalami kerusuhan,
terbukti dengan banyakya korban jiwa yang jatuh pada daerah yang rusuh.
C. Mencari Akar Sosio-Religious Kerusuhan John Naisbit dan Patricia Aburdene pernah memprediksi tentang kebangkitan agama dalam buku yang mereka tulis "Megatrend 2000". Prediksi ini sebenarnya memberikan harapan yang menyenangkan bagi para pemeluk agama, karena dengan ramalan itu agama menjadi lebih diminati orang setelah manusia berada dalam krisis fundamental yang melingkupi kehidupan mereka, seperti krisis tentang pemaknaan dan tujuan hidup yang gagal diformulasikan oleh paradigma modernisme. Tetapi belum lagi harapan itu terwujud, agama ditampilkan oleh sebagian pemeluknya dalam bentuk lain yang mungkin menakutkan. Kerusuhan antar umat beragam bisa dijadikan contoh asumsi di atas. Tentu saja sikap seperti ini akan merusak martabat kesucian agama yang dipeluknya dan memupuskan harapan orang yang ingin kembali ke agama. Walau sebenarnya banyak orang yakin bahwa kerusuhan itu berawal dari hal-hal di luar agama namun akhirnya agama ikut dilibatkan, agama dijadikan kendaraan empuk, orang mengatasnamakan agama dalam kerusuhan. Dalam rangka meyakinkan kembali bahwa agama masih mempunyai masa depan, maka para pemeluk agama itu haruslah mencari solusi terhadap krisis agama-agama saat ini. Kerusuhan ataupun konflik antar umat beragama merupakan wilayah sensitif yang seringkali muncul ke permukaan. Kalau dicari akar sosio-religiousnya maka para ilmuwan sosial kita mensinyalir bahwa keterlibatan agama dalam tindak kerusuhan itu terjadi karena terdapat distorsi dalam proses interaksi simbolik antar etnik, terutama yang berkaitan dengan dunia simbolik masing-masing etnik seperti agama. Dalam hal agama ini misalnya, mereka atas dasar dorongan mempertahankan dunia simboliknya, membangun suatu komunitas dan lembaga keagamaan seperti tempat ibadah dan organisasi keagamaan. Meskipun hal tersebut secara antripo-sosiologis merupakan hal yang wajar, namun tak pelak menjadi ancaman terhadap komunitas keagamaan yang dimiliki oleh etnis asli. Respon dari kelompok yang terancam, pertama-tama masih laten, seperti perasaan curiga. Namun sewaktu-waktu apabila ada pemicu lainnya, seperti isu kesenjangan ekonomi, ditambah lagi adanya provokator, perasaan curiga itu berkembang dalam bentuk perlawanan sosial yang radikal. Apalagi perlawanan itu dicarikan legitimasi pada agama, yakni sebagai perjuangan mempertahankan agama dari ancaman agama lain, maka akan semakin memperuncing, memperdalam, dan memperluas pertentangan antar etnik. Sedangkan Lester
Kurtz dalam bukunya "Gods in the Global Village" menyebutkan bahwa watak
dari kerusuhan antar agama itu cenderung mengabaikan kualitas kesalehan
individu yang dimusuhi dan bahkan yang sering terjadi adalah baik yang
memerangi maupun yang diperangi sama-sama rendah kualitas keberagamaannya.
D. Agama Seharusnya Berperan Sebagai Kekuatan Integratif Melihat berbagai kerusuhan yang terjadi antar umat beragama, kita pun akhirnya bertanya-tanya dan membuat asumsi bahwa manusia telah gagal membumikan doktrin agamanya, manusia menjadi sengsara karena telah menyimpang dari pesan-pesan perdamaian yang dikumandangkan agama. Sehingga semestinya agama menjadi berkah bagi manusia justru berballik menjadi kutukan baginya. Menurut saya sebenarnya masalah yang esensial bagi para pemeluk agama adalah bagaimana mereka bisa meningkatkan kualitas kesalehannya, baik kesalehan individu maupun kesalehan sosial. Bagaimana para pemeluk agama itu menjadi dewasa dalam bersikap terutama ketika berhubungan dengan pemeluk agama lain. Tentulah dalam hal ini kecerdasan dalam beragama sangat diperlukan. Agar dengan demikian agama bukan malah sebagai sumber konflik dan kerusuhan tetapi justru sebagai alat kritik terhadap keangkuhan, kebodohan, penindasan dan ketertutupan dalam kehidupan. Agama dalam peran sosialnya seharusnya menjadi kekuatan integratif terhadap berbagai pertentangan dan perbedaan. Karena di dalam agama terdapat pesan-pesan pluralisme dan keragaman yang kita diperintahkan untuk saling mengenal dan saling belajar antara satu dengan yang lainnya. Sayangnya, sekali lagi, agama justru berperan sebaliknya, mengakibatkan emosi suatu kelompok etnik tertentu melakukan perlawanan terhadap kelompok etnik yang lain. Untuk itulah perlu dalam beragama ini suatu usaha untuk mendefinisikan ulang peran sosial agama. Agar apa yang baik dan benar di dalam kitab suci itu bisa baik dan benar pula dalam tataran prakteknya di bumi manusia. ______________________
. |
||
https://fdib.tripod.com/e-zine/ez-niam.html
|
||
KEMBALI |