-----------------
Logo FDIB
---------------- 
  FDIB Scientific E-Zine @ 1-2001  
 
Ethos Dunia: Jembatan Alternatif Dialog Antar Agama1)
Khoirun Niam2)
 

Daftar isi:
1. Masalah Manusia dan Modernitas
2. Ethos Dunia dan Dialog antar Agama
3. Kelayakan Ide Ethos Dunia di Indonesia
 


Masalah Manusia dan Modernitas

Kondisi penting yang diinginkan oleh setiap orang di dunia ini adalah terciptanya perdamain antara penghuninya. Perdamaian ini mudah sekali untuk diucapkan tetapi perlu usaha keras untuk merealisasikannya. Lebih lebih lagi pada belahan bumi yang masih mengalami berbagai problem sosial, maka konflik antara sesama justru berkepanjangan dan semakin jauh dari kondisi hidup damai ini. 

Di Zimbwabe misalnya, sedang trend di kalangan mereka usaha "Land Reform" berupa pembagian hak guna dan pakai tanah, yang sekarang lebih banyak didominasi kulit putih, diusahakan agar orang kulit hitam juga bisa mendapatkannya. Sayang, cara yang mereka pergunakan kelihatan "ugal-ugalan" dengan menyerobot dan menghanguskan dulu hak milik orang putih serta mengusirnya bahkan menyiksa dan membunuhnya. Di Timur tengah belum saja berhenti tindak kekerasan antara Israel dan negara-negara tetangganya walau sudah diusahakan perdamaian melalui perjanjian-perjanjian baik yang disponsori oleh PBB maupun pihak lain. Di Indonesia sendiri masih jauh dari kondisi damai. Di Maluku, di Aceh dan bahkan di Jakarta sendiri, terasa panas suhu politik yang ada. Yang relatif baru peristiwa yang jauh dari perdamaian ini adalah penyanderaan wisatawan asing di Jolo, Philiphina, yang karena motif menginginkan otonomi dari pemerintah pusat kelompok Abu Sayyaf menyandra wisatawan manca negara yang lagi menikmati pemandangan indah di Sipadan Malaysia. Di Irlandia belum saja berhenti konflik antara Kristen Protestan dan Katholik. Di Zimbwabe konflik yang terjadi bermotifkan ekonomi, di Timur tengah bermotifkan agama dan politik, di Maluku bernuansa suku, agama dan ekonomi.

Sejak tahun 1993 muncul suatu diskursus baru berkaitan dengan konflik di dunia. Samuel P. Huntington dalam tulisannya di Jornal "Foreign Affair" berjudul "The Clash of Zivilization?" memprediksi akan adanya benturan antar peradaban di muka bumi ini3). Bagi dia idiologi dan politik tidak lagi menjadi sumber utama konflik antara negara-bangsa. Apalagi dengan berakhirnya perang dingin dan tumbangnya komunisme. Salah satu yang ia prediksikan sebagai sumber konflik baru adalah benturan peradaban Barat dan Islam. Menurut Huntington peradaban dunia akan diwarnai oleh interaksi antar tujuh atau delapan peradaban besar yakni: Peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks Slavia, Amerika Latin, dan mungkin Afrika. 
Huntington memprediksikan bahwa konflik di masa depan akan terjadi sepanjang garis pemisah budaya yang memisahkan peradaban-peradaban ini. Kenapa demikian? Pertama, perbedaan terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan yang lebih 
 

______________________
1) Disampaikan dalam seminar Forum Diskusi Indonesia Berlin pada tanggal 6 Mei 2000 di Berlin.
2) Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya yang kini berstatus sebagai Doktorand di Institut für Islamwissenschaft Freie Universität Berlin 
3) Lihat terjemahan artikel ini di Jornal "Ulumul Quran" No. 5, Vol. IV, Th. 1993, hal 11-25.
 
 

.

 
..
---
 
 
 
 

penting lagi agama. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang yang berbeda peradabannya semakin meningkat. Interaksi yang meningkat ini mempertajam kesadaran dan rasa perbedaan-perbedaan  antara orang-orang  atau masyarakat yang berbeda peradaban di samping mempertajam kesadaran akan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam pernbedaan-perbedaan itu. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar secara mendalam, di samping memperlemah negara bangsa sebagai sumber identitas mereka.

Pada zaman modern ini menurut Hans Küng ada empat sumber krisis yang dihasilkan oleh Barat  yang memberikan:
1. Ilmu pengetahuan, tetapi tanpa kebijaksanaan untuk mencegah penyalahgunaan penelitian ilmiah;
2. Teknologi, tetapi tanpa daya spiritual untuk mengantisipasi resiko yang tak terduga yang datang dari teknologi besar dengan efisiensi tinggi;
3. Industri, tetapi tanpa ekologi;
4. Demokrasi, tetapi tanpa moralitas yang dapat mengimbangi kepentingan pribadi yang berskala tinggi dari para pengusaha secara pribadi atau kelompok.4)

Dalam keadaan dunia yang sarat akan konflik ini, di saat yang hampir bersamaan dengan munculnya tulisan Huntington, Parlemen untuk Agama-agama Dunia menilai bahwa dunia kita ini berada dalam keadaan sekarat5). Sekarat karena perdamaian telah diabaikan, ekosistem telah disalah gunakan, harmonitas sosial telah terkikis, keadilan telah dilupakan, bahkan agresi dan kebencian yang mengatas namakan agama telah ditumbuhsuburkan. Keadaan dunia semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi. Untuk itulah para pemikir agama berkumpul di Chicago untuk merumuskan hal-hal kongkrit yang bisa mengatasi kondisi ini. Mereka akhirnya memunculkan deklarasi bersama tentang Ethos Dunia (etika global). Apa ethos dunia ini dan apa kira-kira kontribusinya dalam proses dialog antar agama? Bagaimana kelayakan diterapkannya di Indonesia? Mari kita diskusikan dalam kesempatan berikut.
 

Ethos Dunia dan Dialog antar Agama

Kalau kita tinjau pengertiannya maka ethos didefinisikan sebagai nilai-nilai moral yang mengarahkan manusia untuk bersikap6) sedangkan ethik adalah norma dan aturan dasar yang harus dipegang teguh oleh manusia agar suatu masyarakat bisa berfungsi7).  Ethos dunia yang dimaksudkan disini sebagaimana yang didefinisikan dalam "Erklärung zum Welt Ethos" adalah konsensus dasar yang berkaitan dengan nilai-nilai yang sudah ada berupa ukuran yang tak bisa dirubah dan sikap-sikap bagi individu8). Atau dalam bahasa yang lebih praktis adalah "sikap dasar terhadap kebaikan dan kejahatan dan prinsip-prinsip dasar untuk melaksanakan sikap itu dalam tindakan."9)
 

___________________
4)  Hans Küng,.: Towards a Word Ethic of the World Religion: Fundamental questions of precent ethics in a global context" dalam Concilium 2, 1990, h. 140 yang di kutip oleh ST. Sunardi dalam Dialog: Kritik dan identitas Agama, Seri DIAN I, Tahun I,  Cetakan II, 1994, h. 82.
5)  Lihat Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (ed.): Erklärung zum Weltethos, Piper, Munchen, 2. Auflage, 1996, h 15.
6)  Prof. Dr. Dieter Götz, dkk. (Eds.).: Langenscheidts Großwörterbuch Deutsch als Fremdsprache, Berlin,1997, h. 305.
7)  Ibid, h.305.
8)  Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (ed.): Erklärung zum Weltethos,  h. 24. 
9) Hans Küng dan Leonard Swidler, Editorial: Toward a "Universal Declaration of the Global Ethos" dalam Journal of Ecumenical Studies, 28 1991,  h. 123.
 
 

 

 
..
...
 
 
 
 
 
 

Ethos dunia, yang di Jerman ini dipelopori oleh Hans Küng, mempunyai tujuan ganda: untuk menjalin perdamaian di antara agama-agama dan untuk mengobati dunia yang mengalami krisis makna, nilai dan norma. Diharapkan ethos dunia  yang mengandung prinsip-prinsip ethik penting ini bisa direalisasikan oleh setiap pemeluk agama maupun orang yang tidak beragama. Karena mereka yang atheispun memiliki pandangan ethik dasar tentang manusia dan kemanusiaan.

Dalam dunia yang masih haus akan perdamaian, semua agama berbagi pada satu tanggungjawab bersama, yaitu menciptakan perdamaian. Inilah tanggung jawab global yang harus menjadi pemikiran setiap kelompok agama atau agama secara keseluruhan. Ethos dunia bukanlah semacam sistem moral lengkap bagi para pemeluk berbagai agama, melainkan hanya merupakan "ein Minimum an gemeinsamen Werten, Normen, und Haltungen"10) Kita harus optimis akan kemungkinan yang bisa disumbangkan oleh agama dengan cara mencari konsensus bersama antar agama. Usaha mencari konsensus bersama di antara agama-agama ini tidak dimaksudkan untuk mereduksi  agama ke level yang semata-mata bersifat moral atau manusiawi. Usaha ini juga tidak untuk meremehkan ciri-ciri dan kriteria khas dari setiap agama. Ethos dunia tidak harus mengancam keunikan setiap agama. Usaha ini harus dilihat dari arah yang sebaliknya, yaitu sebagai langkah yang koperatif dan kritis untuk merumuskan tanggungjawab global. Konsensus moral lewat ethos dunia merupakan sumbangan agama-agama untuk menjawab krisis makna, nilai dan norma.

Ide dasar ethos dunia mengandung pandangan penting, yaitu: setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi; dalam hal ini manusia tidak saja mempunyai hak dalam hidupnya tetapi mempunyai kewajiban yang harus disadari dan dilakukan, yaitu:
a. Kewajiban dalam memelihara budaya tanpa kekerasan dan kekejian dalam semua bentuk kehidupan; 
b. Kewajiban dalam memelihara budaya solidaritas bersama dan adanya keadilan dalam ekonomi;
c. Kewajiban dalam memelihara budaya tolerant dan kejujuran dalam hidup;
d. Kewajiban dalam memelihara budaya persamaan derajat dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.11)

Ide dasar ini sebenarnya bersumber pada ajaran etik agama-agama. Dalam ajaran Yahudi misalkan terdapat perintah yang berbunyi: Du sollst nicht mördern; du sollst nicht stehlen; Du sollst falsch Zeugnis gegen einen anderen aussagen; Du sollst nicht die Ehe brechen.12)

Dalam ajaran Islampun juga terdapat perintah yang identik. Nabi Muhammad s.a.w. ketika Bai'ah Aqabah I melakukan perjanjian dengan orang-orang yang berasal dari Yatsrib (Madinah) yang diantara perjanjian itu berisi sebagai berikut: 
 

_________________
10) Hans Küng.: Projekt Weltethos, Piper, Munchen, 5. Aflage, 1999, h. 49.
11) Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (ed.): Wissenschaft und Weltethos, Piper, München 1998, h. 34.
12) Lihat selengkapnya di Monika dan Udo Tworuschka.: Religionen der Welt, Orbis Verlag, Munchen, 1996, h. 15.
 
 

 

 
    .
.. 
 
 
 

1. Janganlah kamu membunuh anak-anak
2. Janganlah kamu mengambil hak orang lain dengan tanpa izin (jangan mencuri)
3. Janganlah kamu berdusta dan berbuat kedustaan
4. Janganlah kamu mengerjakan perzinaan.13)

Di dalam Erklaerung zum Weltethos14) dijelaskan pula bahwa prinsip-prinsip di atas sudah ada sejak zaman dulu yang berbunyi: Du sollst nicht toeten atau hab Ehrfurch vor dem Leben, janganlah kamu membunuh atau sebaliknya hormatilah kehidupan orang lain; du sollst nicht stehlen atau handle gerecht und fair, janganlah kamu mencuri atau sebaliknya berlakulah secara adil dan jujur; du sollst nicht luegen atau rede und handle wahrhaftig, janganlah kamu bohong atau sebaliknya berbicara dan bersikaplah sejujurnya; du sollst nicht Unzucht treiben atau achtet und liebet einander, janganlah kamu berzina atau sebaliknya peduli dan cintailah orang lain.

Nilai-nilai inilah yang ingin diangkat sebagai media untuk memikul tanggungjawab bersama menjaga perdamaian di muka bumi ini melalui ethos dunia. Dengan demikian akan muncul format kerjasama antar pemeluk agama dan dengan mereka yang tidak mengakui agama dengan menggunakan starting point etika global yang sama-sama diakui kebenarannya.

Hans Küng mempunyai pandangan dan prinsip sebagai berikut:
1. Tidak akan ada perdamaian antar bangsa kalau tidak ada perdamaian antar agama;
2. Tidak akan ada perdamaian antar agama kalau tidak ada dialog antar agama.

Saya kira dialog antar agama yang sekarang ini di Indonesia mengalami masa surut perlu dibuka kembali wacananya melalui pendekatan etika global dan dengan kesadaran bersama atas tanggung jawab perdamain di  bumi nusantara. 

Sementara ini yang berlaku dalam proses dialog antar agama adalah dialog antar tokoh pemeluk agama. Yang ironis adalah masing-masing tokoh agama sepakat untuk saling menghormati dan hidup toleran, tetapi di level yang lebih luas atau di masyarakat justru sebaliknya, mereka saling mencaci maki, secara berlebihan mencurigai dan bahkan saling bunuh. Makanya tidaklah berlebihan kalau Husain Umar, yang pada tahun 1996 menjabat Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, menilai dialog antar agama itu 
 

____________________
13) Isi lengkap Bai'ah aqabah I:
a. Hendaklah kamu sekalian menyembah kepada Allah yang Maha Esa dan janganlah kamu smengadakan persekutuan dengan sesuatu apapun.
b. Janganlah kamu mengambil hak orang lain dengan tanpa izin (jangan mencuri)
c. Janganlah kamu mengerjakan perzinaan
d. Janganlah kamu membunuh anak-anak
e. Janganlah kamu berdusta dan berbuat kedustaan
f. Janganlah kamu menolak perkara yang baik
g. Hendaklah kamu mengikuti pesuruh Allah, baik pada masa susah maupun pada masa senang
h. Hendaklah kamu mengikuti pesuruh Allah, baik dengan paksa ataupun tidak
i. Janganlah kamu merebut sesuatu dari ahlinya; kecuali kamu melihat dengan nyata-nyata tanda-tanda kekafiran orang yng mengerjakan perkara itu dengan tanda bukti dari Allah yang menunjukkan kekafirannya.
j. Hendaklah kamu mengatakan kebenaran dimana saja kmu berada dan janganlah kamu takut atau khawatir dalam mengerjakn agama Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela.
Lihat Munawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad S.A.W., Bulan Bintang, Jakarta, 1977, h. 574-575.

14) Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (ed.): Erklärung zum Weltethos, Piper, Munchen, 2. Auflage, 1996, h 29 - 40.
 
 

 

 
   
.
 
 
 
 

hanya untuk bermanis-manisan.15) Sedangkan menurut Dr. Amin Abdullah, dialog itu hanya untuk memenuhi formalitas dan merupakan kerja sejarah yang sulit untuk melihat hasilnya dalam waktu yang dekat.16) Dr. Victor Tanja, Teolog Kristen Protestan, menilai bahwa sebenarnya di tingkat bawah kita ini sudah berada pada tataran dialogis, kendati itu hanya bersifat dialog informal. Misalnya dengan tetangga dalam hal pekerjaan. Tetapi pemuka-pemuka agama ini justru membuat dialog yang formal karena melihat gejala perpecahan yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan. Jadi konsumsi politiklah yang membuat mereka berdialog di tingkat atas. Menurut dia hal itu sah-sah saja asalkan itu bisa mendukung dialog yang sudah terjadi di bawah.17)

Memang cukup rumit untuk membawa dialog itu ke arah yang tepat guna bagi para pelaku dan umatnya. Tetapi paling tidak apa yang di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1967 itu merupakan usaha sejarah yang nanti akan bisa dirasakan hasilnya. Pada saat itu pemerintah memprakarsai adanya Musyawarah Antar Agama dengan melibatkan para pemuka agama. Tetapi menurut catatan DIAN (Dialog antar Iman di Indonesia) usaha ini dinilai tidak berhasil, karena tidak dicapai kesepakatan bersama berkenaan dengan prinsip-prinsip penyebaran agama.

Pada awal tahun 1970-an kesadaran dialog mendapatkan konteks baru, dialog tidak saja diarahkan untuk menghindarkan konflik tetapi juga untuk membicarkan partisipasi agama dalam proses perubahan masyarakat lewat modernisasi. Dengan kata lain agama tidak saja mengurusi perekrutan pemeluk sebanyak-banyaknya tetapi juga secara bersama-sama dengan agama lain menghadapi tanggung jawab dalam dunia yang sedang berubah.

Dalam sebuah pengantar buku DIAN18) disebutkan ada beberapa pola dialog yang dilakukan oleh para pendukung dialog antar agama ini: Dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis dan dialog pengalaman keagamaan. Dialog hidup diarahkan untuk membicarakan masalah kehidupan yang berkaitan dengan kegembiraan, kesusahan, keprihatinan dan kegelisahan hidup sesama kita. Dialog aksi diarahkan untuk bekerja sama mengatasi pembatas-pembatas yang menghalangi hidup secara manusiawi. Dialog teologis biasanya dilakukan oleh lapisan elit agama untuk membicarakan warisan-warisan keagamaan dengan nilai-nilainya agar dapat memahami lebih dalam dan menghargai lebih tulus. Dialog pengalaman keagamaan memberikan kesempatan kepada partisipan untuk membagikan pengalaman-pengalaman keagamaan mereka yang berakar pada tradisi agama masing-masing.

Pilihan mana yang paling strategis dan tepat guna dalam berdialog? Ada beberapa usulan yang dilontarkan oleh tokoh agama, budayawan dan ilmuan kita. Di antaranya adalah apa yang dilontarkan Emha Ainun Najib. Menurut dia dialog antar agama mestinya harus lebih mengarahkan pada sisi kultural, tidak pada tingkatan intelektual dan teologis. Karena menurut Emha dimensi Akidah atau iman itu merupak sesuatu yang subyektif dan aurat bagi seseorang. Artinya apa, kalau iman merupakan aurat, maka seseorang harus melindungi dan menjaganya. Persoalannya adalah kalau kita berdialog antar iman, seberapa jauh kita bisa membuka aurat disini? Masalah akidah adalah masalah teologis yang tidak bisa ditawar-tawar.19) Senada dengan Emha, Victor Tanja menganggap bahwa mustahil dialog itu dilakukan dalam tataran teologis bahkan justru akan menjurus pada konflik. Dalam dialog yang ingin dicapai bukan soal kompromi akidah, tetapi bagaimana akhlak keagamaan itu bisa kita sumbangkan untuk semua orang.20)
 

_________________________
15) Lihat UMMAT, No. 14, Th. I, 8 Januari 1996 yang kemudian dilampirkan dalam sebuah buku "Atas Nama Agama" diedit oleh Andito, Pustaka, Hidayah, Bandung, 1998, h. 383.
16) Ibid., h. 384.
17) Ibid., h. 368.
18) Lihat, Dialog: Kritik dan identitas Agama, Seri DIAN I, Tahun I,  Cetakan II, 1994, h. xvi.
19) Ibid, h. 139 -142.
20)  Lihat UMMAT, No. 14, Th. I, 8 Januari 1996 yang kemudian dilampirkan dalam sebuah buku "Atas Nama Agama" diedit oleh Andito, Pustaka, Hidayah, Bandung, 1998, h. 386.
 
 

 

 
. .
.
 
 
 

Kelayakan Ide Ethos Dunia di Indonesia

Menurut hemat saya ide ini sangat layak untuk diterapkan di Indonesia. Tetapi dalam proses sosialisasinya memang memerlukan langkah panjang, agar masyarakat kita menyadari arti pentingnya. Kita dulu sempat khawatir, ketika menjelang pemilu 1999, akan terjadi chaos yang berkepanjangan. Terbukti dengan adanya kerusuhan di mana-mana, baik kerusuhan itu diduga didesain oleh pihak-pihak tertentu atau kerusuhan itu memang sebagai akibat dari kondisi yang tidak menguntungkan. Apalagi kalau melihat kondisi masyarakat kita yang sangat plural ini, perbedaan suku, agama, kelompok, golongan sering kali memicu konflik dan kerusuhan. 

Menjelang pemilu 1999, terdapat polarisasi masyarakat yang dilatarbelakangi baik oleh faktor agama, politik, suku, idiologi dan kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi didorong oleh adanya perebutan kekuasaan yang sedang mengalami transisi. Apa yang sangat dominat terlihat dari kenyataan sosial itu adalah suatu gerakan yang bisa disebut sebagai gerakan etno-religious. Ada indikasi yang menunjukkan suatu suku berusaha menggalang solidaritas sosialnya melalui pendekatan spiritual dan agama yang sama-sama mereka yakini untuk akhirnya bisa merebut kekuasaan. Tampak sekali pada saat itu agama ditunggangi untuk kepentingan politik. Walau hal ini tidak salah benar.

Pada suasana politik yang suhunya memanas itu rasanya sulit untuk merealisasikan kesadaran etika global ini dalam praktek kehidupan nyata. Karena apa yang benar di dalam politik tidak selamanya benar dalam dataran etiknya. Tetapi barangkali suasana semacam itu justru menjadi wahana untuk mengaca diri dan mengkoreksi untuk berikutnya bisa memperbaiki.

Melihat realitas diatas saya rasa penting sekali ide etika global ini diupayakan bisa terealisir di Indonesia. Dalam rangka menjembatani keragaman etnik dan budaya serta agama yang ada kearah kesadaran kerjasama dalam rangka memikul tanggung jawab memelihara perdamaian di antara manusia yang berbeda.
Apa lagi dalam kondisi hubungan antar umat beragama di Indonesia sekarang ini yang mengalami penurunan yang sangat drastis, dengan adanya konflik antar pemeluk agama di Maluku yang belum juga reda, maka perlulah dicarikan alternatif untuk membuka kembali wacana dialog antar agama ini. Dengan melihat berbagai permasalahan kemanusiaan yang merupakan akibat dari konflik yang terjadi, maka saya rasa alternatif mengangkat thema etika global dalam berdialog akan memberikan arti yang lebih strategis. Dengan harapan masalah-masalah kemanusiaan yang terjadi, baik berupa pembunuhan, pembakaran rumah, perampasan harta benda, pengusiran dari kampung halaman dan lain-lain bisa diatasi atau paling tidak bisa dihentikan. Tidakkah kita sadar bahwa setiap orang ingin menikmati hidup yang damai antara sesama? Tidakkah kita sadar bahwa setiap orang merasakan bahwa apa yang kita inginkan dalam hidup ini berupa suatu kebaikan, kenikmatan, kesejahteraan dan  kedamaian, orang lainpun juga menginginkan demikian? Dan apa yang tidak kita inginkan bahwa orang lain memperlakukan sesuatu yang tidak enak pada diri kita, orang lain pun juga menginginkan hal yang serupa? Was du willst, daß man dir tut, daß tue auch den anderen. Atau sebaliknya, Was du nicht willst, daß man dir tut, daß füg auch keinem anderen zu. Inilah prinsip etika global yang perlu kita tanamkan.
 
 



Niam, K. (2001). Ethos dunia: Jembatan alternatif dialog antar agama, FDIB Scientific E-Zine, Berlin, January 2001.
https://fdib.tripod.com/e-zine/ez-niam.html
 
 

 

 
KEMBALI