|
Makalah:
Masalah Pasca Y2K
I Made Wiryana, SSi, SKomp, MSc
Universitas Gunadarma Jakarta
Universitaet Bielefeld, Jerman
Di awal tahun baru ini, dunia Teknologi
Informasi (TI) Indonesia menghadapi suatu problem yang cukup besar dan
dapat menghabiskan dana yang tidak main-main pula. Problem ini timbul
karena diabaikannya aspek legalitas dan etika oleh para praktisi TI, dan
juga lembaga pendidikan dalam pemanfaatan TI. Permasalahan ini menjadi
tidak main-main setelah disepakatinya perjanjian Genewa, dan keinginan
para vendor perangkat lunak untuk mulai mengejar para pengguna perangkat
lunak bajakan.
Penulis telah mengidentifikasi masalah
ini sejak 2 tahun yang lalu dan mencoba mempublikasikannya secara luas.
Tulisan ini mencoba sedikit mengupas masalah ini serta solusi yang dapat
dilakukan oleh perusahaan, organisasi ataupun lembaga institusi di Indonesia
untuk menghadapi masalah ini. |
Hingar-bingar pesta pergantian tahun baru saja
kita lewati. Kita menarik nafas lega karena dampak dari Y2K tidak timbul
secara berarti. Pada Y2K Center dilaporkan hanya beberapa masalah, seperti
di Jepang, dan Prancis, tetapi tidak mengakibatkan kekacauan. Di Indonesia
pun setelah melalui persiapan sebelumnya problem ini tampaknya pada saat
pergantian tahun tidak terasa dampaknya. Walau begitu tampaknya masih perlu
terus waspada karena masalah itu dapat terasa pada saat beberapa bulan
mendatang (misal ketika pergantian bulan Februari-Maret 2000).
Permasalahan Y2K ini memberikan suatu pelajaran
yang berarti, yaitu kesalahan kecil yang dilakukan oleh para vendor ternyata
harus ditanggung oleh para konsumen di kemudian hari. Dan ini membutuhkan
biaya yang tidak ringan. Sehingga tingkat kesadaran konsumen TI terhadap
teknologi yang digunakannya sudah selayaknya ditingkatkan. Di samping
itu, kita menjadi sadar, bahwa ketertutupan vendor terhadap teknologinya
hanyalah akan mengakibatkan tragedi di kemudian hari, karena tidak memungkinkan
pengujian yang dilakukan oleh pihak ke tiga.
Apa yang menghadang dunia TI Indonesia setelah Y2K
?
Terlepas dari masalah Y2K tersebut, sebetulnya dunia
TI Indonesia kini benar-benar menghadapi suatu masalah besar. Masalah
tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah penerapan konvensi Geneva
yang di dalamnya terdapat Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights Agreement (TRIP). Indonesia saat ini telah masuk dalam daftar
prioritas yang diamati oleh pihak USA. Sehingga tindakan hukuman
tidak tertutup dapat ditujukan pada Indonesia di masa mendatang.
Ancaman mengenai Pasca Y2K ini telah diungkapkan
pada berita KOMPAS, tanggal 5 Agustus 1999 di bawah ini :
Dirjen HAKI: Indonesia Terancam
Pembalasan Amerika |
Amerika Serikat, melalui United
State Trade Representatif dalam beberapa tahun belakangan ini menempatkan
Indonesia pada posisi priority watch list. Kedudukan ini sekelas dengan
negara-negara lain seperti, Cina, Bulgaria, Israel, Malaysia, Brunei, Afrika
Selatan, Mexico, maupun Korea. Padahal, pengelompokan ini bukan tanpa sanksi.
...
Menurut Purba, jikalau Indonesia
tak dapat memperbaiki keadaan, maka sanksinya adalah penggunaan spesial
301 pada United States (US)Trade Act. Ketentuan ini memberikan mandat
kepada pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan pembalasan (retaliation)
di bidang ekonomi kepada Indonesia. "Dalam hal ini, pasar Indonesia
di Amerika Serikat yang menjadi taruhannya," tandas Dirjen HAKI.
......
Ia mengatakan, ada dua bidang yang
menjadi sorotan utama, yakni hak cipta menyangkut pembajakan video compact
disk serta program komputer, dan paten berkenaan dengan obat-obatan
(pharmaceuticals). Karena itu, yang penting sebenarnya, adalah komitmen
dari penegak hukum Indonesia pada standar internasional mengenai HAKI sendiri.
Apalagi, Indonesia sudah menyatakan ikut dalam convention Establishing
on the World Trade Organization (Konvensi WTO) yang di dalamnya terdapat
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement (TRIPs).
"Jadi, ada atau tidak ancaman
Amerika Serikat, soal penegakan hukum dalam bidang HAKI, adalah masalah
serius. Apalagi, masih ada kemungkinan keluhan serta ancaman serupa
dari negara lain," ungkap Dirjen HAKI. (tra) |
Sumber : [ http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1945.html
].
Memang hukuman tersebut belum dilakukan secara
langsung, tapi dapat berakibat pada eksport Indonesia ke USA, dan yang
buntut-buntutnya mempengaruhi perekonomian Indonesia pada umumnya. Sayang
sekali masih diabaikan oleh masyarakat luas, termasuk pihak pendidikan.
Membaca berita berikutnya pada pada KOMPAS, 7 September 1999 :
Jangan Sepelekan Potensi Kejahatan
di Bidang HAKI |
Direktur Jenderal Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) Depkeh Achmad Zen Umar Purba mengemukakan ............
Purba mengingatkan, bidang HAKI
sangat lekat dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Pertumbuhan
penghormatan atas HAKI tumbuh sejalan dengan pertumbuhan perekonomian suatu
negara. "Jikalau suatu negara perekonomiannya tergantung pada investasi
asing, maka mereka pun sangat berkepentingan dengan perlindungan HAKI,"
ungkap pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta
itu.
Diungkapkan Purba, Amerika Serikat
melalui United State Trade Representative (USTR) mendudukan Indonesia pada
posisi priority watch list (daftar negara yang harus diawasi). Keluhan
utama dari investor Amerika Serikat adalah belum memadainya penegakan hukum
bidang HAKI di Indonesia. Dua hal yang menjadi sorotan utama, yakni penghormatan
hak cipta yang menyangkut pembajakan VCD dan program komputer, serta
penghargaan hak paten berkenaan dengan obat-obatan.
Dirjen HAKI mengingatkan, penegakan
hukum di bidang HAKI sangat membantu untuk menumbuhkan kepercayaan investor.
Tetapi penegakan hukum di bidang HAKI itu dapat berjalan apabila ada persamaan
persepsi dari para penemu, kreator, birokrasi, masyarakat, pembuat undang-undang,
dan penegak hukum. (tra) |
Sumber : [ http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9909/07/nasional/jang08.htm
].
Untuk bidang program komputer, tingkat pembajakan
yang terjadi di Indonesia memang sampai taraf
yang memalukan. Sekitar lebih
dari 90% program yang digunakan di Indonesia merupakan program
yang disalin secara ilegal. Dampak dari pembajakan tersebut menurunkan
citra dunia Teknologi Informasi Indonesia pada umumnya. Hal ini menurunkan
tingkat kepercayaan para investor, dan bahkan juga menurunkan tingkat
kepercayaan calon pengguna tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa
dikatakan tenaga TI Indonesia belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional,
hal ini tidak terlepas dari citra buruk akibat pembajakan ini.
Masalah pasca 2000 tiba
Pada tahun-tahun sebelum 2000 kita dapat berlindung
dari tuduhan tuntutan yang keras, Tetapi setelah tahun 2000 maka para pengguna
TI Indonesia, terutama perusahaan, organisasi, departement. Sudah tak dapat
lagi mengelak dari tuduhan yang berat ini. Sebagaimana diungkapkan pada
berita KOMPAS tanggal 27 Desember 1999 :
Pembajak Program Ditindak Tegas
Tahun 2000 |
Dengan berlakunya TRIPs (Trade
Related aspects of Intellectual Property Rights) yang dicanangkan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) mulai 1 Januari 2000 mendatang, produsen-produsen
paket piranti lunak komputer terutama yang tergabung dalam Business Software
Alliance (BSA) akan menuntut pembajak program buatan mereka ditindak tegas
sesuai ketentuan. Selama ini para produsen masih dalam tahap sosialisasi
peraturan dan peringatan saja kepada para pelanggar hak cipta itu. Demikian
dikemukakan Henry Soelistyo Budi SH LLM, Ketua IV Perhimpunan Masyarakat
Hak Atas Kekayaan Intelektual Indonesia (IIPS) dalam jumpa pers tentang
hasil sosialisasi Undang-Undang Hak Cipta 1999, yang diselenggarakan IIPS
dan Microsoft Indonesia, di Jakarta, pekan lalu (24/12).
Selama ini, jelas Henry sudah
dicatat perusahaan mana saja di Indonesia yang melakukan pembajakan
paket software yang diproduksi BSA. "Sasaran yang dituju sudah ada, tinggal
menunggu 'aba-aba tembak' saja," ujar Henry. Dari pelanggar itu ternyata
tidak sedikit yang tergolong perusahaan besar.
Praktik penggandaan program komputer
untuk digunakan sendiri dalam jumlah besar disinyalir berlangsung di banyak
perusahaan
perbankan, pabrik-pabrik, dan perkantoran swasta yang
besar dan instansi pemerintah yang menggunakan komputer sebagai
perangkat penunjang administrasi sehari-hari.
Sementara itu, Market Development
Manager Microsoft Indonesia, Adrian Wicaksono menambahkan, sebagian besar
kasus pembajakan software di Indonesia dilakukan justru oleh perusahaan
besar. Tahun 1997 pembajakan paket software BSA mencapai 93 persen
atau senilai 193 juta dollar AS. Pada tahun 1998 turun menjadi 92
persen.
"Meskipun turun satu persen kerugian
absolutnya meningkat, pada tahun lalu Indonesia berada diperingkat antara
7 sampai 9. Nomor satu Vietnam, disusul Cina dan Rusia," jelas Adrian.
"Terhadap perusahaan seperti ini
semestinya dapat dilakukan penindakan, baik atas dasar KUHP sebagai tindak
pidana
penadahan maupun kejahatan korporasi," kata Henry.
Menurut Ketua Umum IIPS Dr Cita
Citrawinda Priapantja SH MIP, berdasarkan undang-undang tahun 1997 pelaku
pembajakan software atau pelanggaran hak cipta software komputer bisa dikenai
hukuman
7 tahun penjara atau denda 100 juta tergantung kategorinya.
Saat ini IIPS tengah mendalami konsepsi
masalah end user piracy agar dapat dipertimbangkan masuk dalam UUHK
yang sedang disempurnakan. Sementara itu bagi penegak hukum, IIPS akan
memberi dukungan keahlian teknis untuk proses pembuktian dalam menangani
pelanggaran
hak cipta program komputer.
Menurut President Director Microsoft
Indonesia, Richard Kartawijaya, dari pembajakan sebesar itu meskipun sulit
dihitung secara terinci, kemungkinan sebagian besar adalah software produksi
Microsoft - salah satu anggota BSA, karena paling banyak digunakan saat
ini.
Walaupun demikian perusahaannya
belum
melakukan tindakan. Yang dilakukan masih sebatas meningkatkan kesadaran,
di antaranya dengan melakukan road show ke daerah-daerah terutama ke perguruan
tinggi. Seminar tersebut diselenggarakan bekerja sama dengan IIPS sejak
April hingga Oktober di beberapa Universitas di Yogyakarta, Surabaya, Semarang,
Salatiga, Surakarta, dan satu Polda di Semarang.
Dari road show itu disimpulkan bahwa
sebagian
besar masyarakat kampus tidak memiliki kepedulian tentang perlindungan
hak cipta. Pada segi hukum keberadaan undang-undang hak cipta kurang
mendapat perhatian dan dari segi pelaksanaan belum dapat dikatakan efektif
dan memadai.
"Sejauh ini tidak tampak adanya
penindakan secara optimal berbagai bentuk pelanggaran, terutama penggandaan
software secara ilegal," kata Henry.
Selain itu kesadaran hukum masyarakat
masih rendah. Mereka tidak peduli apakah program komputer yang digunakan
itu ilegal. Hilangnya sikap menghargai karya orang lain ini, merupakan
bibit bagi tumbuhnya anomali budaya yang tidak kondusif bagi etos kerja
yang jujur, bertanggung jawab, kreatif, dan inovatif, urai Henry.
Untuk menekan kasus pembajakan software
karena
alasan rendahnya daya beli, jelas Richard Microsoft Indonesia menggelar
Program "Campus Agreement" guna memberi lisensi massal bagi komputer
kampus dengan harga jauh lebih murah, antara lain untuk Windows 98,
Windows NT, dan Microsoft Office. Saat ini uji coba dilakukan di Universitas
Pelita Harapan. Dalam waktu dekat di 4 universitas lain dan 200 SMU.
"Apabila model ini dapat disosialisasikan
secara luas di kalangan kampus, maka semestinya tidak ada lagi alasan pembenar
bagi tindakan pembajakan software di lingkungan kampus," tegasnya. (yun) |
Sumber : [
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9912/27/iptek/pemb17.htm].
Dari berita di atas tampak kita bisa sedikit menarik
nafas lega untuk sementara, tetapi hal ini menempatkan pengguna di Indonesia
seperti dalam situasi yang tersudut dan tak punya pilihan lain. Semua ini
memang berawal dari kesalahan dari praktisi TI Indonesia yang mengabaikan
legalitas dan etika dari penggunaan perangkat lunak. Nasi telah menjadi
bubur, yang penting bagaimana solusi terbaik dari situasi ini.
Kita harus menghargai tindakan Microsoft untuk
memberi keringanan pembayaran harga perangkat lunak. Akan tetapi di situasi
ekonomi yang sangat buruk ini apakah tidak ada pilihan lain...? Selain
tetap mengamburkan devisa negara yang berjumlah tidak sedikit tersebut
? Apakah kita harus menyerah dengan situasi seperti ini ?
Tidak semua institusi pendidikan memiliki dana
Tawaran dari pihak Microsoft Indonesia dengan memanfaatkan
Microsoft Campuss Agreement memang lumayan menolong. Akan tetapi pada kenyataan
di lapangan tidak semua institusi pendidikan memiliki dana yang memadai
untuk membayar lisensi. Berikut ini diberikan ilustrasi mengenai besarnya
dana yang perlu dikeluarkan oleh suatu institusi pendidikan. Terus terang
informasi ini hanyalah interpretasi dari informasi yang ada pada situs
Microsoft.
Memang institusi pendidikan menghadapi dilema
berat dalam aspek legalitas perangkat lunak dan pembiayaannya. Sebagai
contoh harga piranti lunak yang biasa digunakan adalah sebagai berikut
(informasi ini hanya perkiraan minimal):
Program |
Harga satuan |
Windows 95 |
USD 160 |
Windows 98 |
USD 200 |
Windows NT |
USD 598 (tanpa lisensi CAL) |
CAL Windows NT |
USD 15 per 1 user terkoneksi ke server |
Jadi sebagai contoh misal suatu institusi dengan
100 komputer yang menggunakan MS Windows 98 sebagai sistem opersi maka
akan menghabiskan dana sekitar :
Jenis |
Jumlah |
Harga |
Total |
Lisensi MS Windows 98 |
100 |
200 |
20.000 |
Lisensi MS Windows NT |
1 |
598 |
598 |
CAL untuk MS Windows NT |
15 |
100 |
1500 |
Total |
|
|
22098 |
Sehingga berdasarkan perkiraan kasar di atas,
suatu institusi yang memiliki 100 komputer dan 1 NT server akan menghabiskan
minimal
22.098 USD hanya untuk pembelian lisensi sistem operasi.
Belum
termasuk biaya program aplikasinya. Memang lisensi dari vendor tidak
sesimple di atas, ada beberapa model lisensi misal :
-
Premium customer. Lisensi ini diberikan kepada
kustomer kelas besar yang juga meliputi dukungan teknis dan akses kepada
pengetahuan internal (Knowledge Base).
-
Customer biasa : Hanya memperoleh dukungan
teknis dari partner (Solution Provider, CTEC, dan lain-lain)
-
MOLP (Microsoft Official License Programing).
dikenal juga dengan istilah paket hemat, akan tetapi tampaknya kini telah
tidak ada lagi.
-
Lisensi massal yang diberikan kepada suatu institusi
yang menggunakan program dalam jumlah banyak, misal untuk institusi pendidikan
dikenal dengan Microsoft Campus Agreement
Tetapi dalam bahasan ini hanya akan dibahas suatu
lisensi keringanan yang biasa diberikan bagi kampus. Lisensi ini memungkinkan
suatu anggota institusi untuk memiliki perangkat lunak produk MS secara
lebih murah, karena pihak institusi telah membayar secara borongan per
tahun berdasarkan jumlah warga institusi tersebut. Berdasarkan informasi
pada situs http://www.microsoft.com/education/license/campus.asp
Perhitungan biaya akan dihitung dengan jumlah full
time equivalent (FTE). FTE
dihitung berdasarkan jumlah staf dan pengajar yang dilaporkan pihak sekolah
ke pemerintah. Berdasarkan informasi di situs tersebut, perhitungan FTE
adalah sebagai berikut :
Dosen
tetap + dosen tidak tetap/3 + staf tetap + staf tidak tetap/3 = total FTE
Misalkan untuk suatu universitas dengan 1000 staf
tetap dan 300 staf tidak tetap, maka FTE total adalah sekitar 1100 (jumlah
ini merupakan jumlah tipikal bagi universitas di kota besar Indonesia).
Misalkan tiap point 1 FTE harus membayar sekitar Rp 100.000,- (ini perhitungan
minimum). Maka biaya yang harus dikeluarkan institusi tersebut per tahun
adalah
1100 x Rp 100.000 yaitu sekitar Rp 110.000.000,-
untuk tahun pertama.
Tahun berikutnya akan dibebani biaya perpanjangan
kontrak kembali. Lisensi tersebut akan meliputi program :
-
Microsoft Office Standard & Professional Editions
-
Microsoft Office Macintosh Edition
-
Microsoft Windows Upgrades
-
Microsoft BackOffice Server Client Access License
(CAL)
-
Microsoft FrontPage
-
Microsoft Visual Studio? Professional Edition
-
Microsoft Office Starts Here?/Step by Step Interactive
by Microsoft Press
Dari keterangan di atas jelas belum termasuk program-program
seperti compiler, pengolah grafik yang juga dibutuhkan untuk suatu institusi
pendidikan.
Tentu yang akan menjadi pertanyaan, apakah
setiap institusi pendidikan di Indonesia mampu membayar beban ini? Sebab
ujung-ujungnya mahasiswalah yang menerima beban ini. Tentu harus dicarikan
lagi jalan keluar pelengkap bagi institusi yang memiliki keterbatasan dana
atau ingin secara
bijaksana memanfaatkan dana dari mahasiswanya.
Memang kemudian pihak institut dapat menjual ulang
ke mahasiswa atau staff dengan dikenakan biaya seharga $25 -$50 untuk mendapatkan
perangkat lunak tersebut. Memang biaya ini lebih murah dibandingkan academic
price, tetapi tetap tinggi untuk ukuran Indonesia.Bahkan dengan kata lain
secara tidak langsung pihak universitas menjadi ujung tombak pemasaran
vendor kepada para mahasiswa
Pilihan alternatif
Solusi yang ada dan ditawarkan oleh para vendor saat
ini akhirnya tetap akan mengakibatkan pengeluaran dana yang sangat besar.
Walaupun telah menggunakan beragam lisensi yang mencoba meringankan biaya.
Tetapi bila nilai tersebut kita kalikan dengan jumlah perusahaan menengah
yang ada di Indonesia, maka jumlah tersebut akan menjadi cukup besar, dan
menjadi beban ekonomi yang tidak bisa diabaikan lagi. Tentu akan timbul
pertanyaan, apakah ada solusi lain untuk lepas dari kondisi ini ?. Jawabannya
adalah ada, dan akan dipaparkan pada tulisan ini.
Beberapa kemungkinan solusi untuk menghindari
masalah di tuduhan pembajakan adalah sebagai berikut :
-
Pasrah dan terpaksa membeli perangkat lunak yang
digunakan. Baik sistem operasi, maupun aplikasinya. Sudah barang tentu
bagi institusi besar sebaiknya memanfaatkan segala bentuk lisensi yang
meringankan biaya total. Tetapi melihat sebagian besar peringanan biaya
ini hanya berlaku bagi perusahaan atau institusi yang menggunakan salinan
lebih dari 5 komputer, tentu bagi perusahaan kecil tetap akan membayar
dengan harga biasa. Dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, solusi
ini akan menimbulkan beban ekonomi yang cukup besar. Bayangkan bagi suatu
perusahaan atau lembaga pendidikan yang memiliki 100 unit komputer. Sudah
barang tentu mau tidak mau terpaksa mengharap belas kasihan para vendor
untuk meringankan biaya lisensi. Permasalahan perkiraan biaya dengan solusi
ini telah dijabarkan di atas.
-
Mengembangkan perangkat lunak yang digunakan,
baik sistem operasi maupun aplikasinya. Solusi ini sangatlah ideal
dan akan sangat baik sekali bila dapat dilaksanakan. Sudah barang tentu
akan memakan waktu yang banyak serta Sumber Daya Manusia yang tidak
main-main. Secara jujur dapat dikatakan SDM bidang Teknologi Informasi
di Indonesia belumlah mampu melakukan hal ini secara luas. Hal ini tidak
terlepas, dari kenyataan saat ini, sebagian besar dari kegiatan praktisi
TI adalah pada penguasaan ketrampilan operasional dan implementasi dari
sistem. Di tambah lagi dengan kenyataan bahwa akses ke informasi internal
dari teknologi perangkat lunak yang digunakan sangatlah terbatas.
-
Memanfaatkan aplikasi Open Source, dan turut
mengembangkannya sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada.
Program Open Source merupakan suatu program yang memiliki sistem lisensi
yang berbeda dengan program komersial pada umumnya. Lisensi hukum yang
digunakan pada program Open Source memungkinkan penggunaan, penyalinan,
dan pendistribusian ulang secara bebas, tanpa dianggap melanggar hukum
dan etika. Program Open Source relatif sudah dikembangkan cukup lama,
dan telah dimanfaatkan sebagai tulang punggung utama dari sistem Internet.
Beragam aplikasi Open Source saat ini tersedia secara bebas. Pemanfaatan
Open Source secara luas di Indonesia akan menghindari dari pengeluaran
biaya serta tuduhan pembajakan. Bahkan komunitas pengguna Open Source
pun telah tumbuh luas di berbagai daerah di Indonesia dari Banda Aceh (
http://aceh.linux.or.id hingga Makassar http://upg.linux.or.id.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, dengan mempertimbangkan
keterbatasan waktu, biaya dan SDM maka solusi dengan memanfaatkan aplikasi
Open
Source sangatlah menjanjikan untuk diterapkan untuk mengatasi masalah ini.
Sayang sekali hingga saat ini masih sedikit tanggapan dari pihak Pemerintah
mengenai kemungkinan pemanfaatan Open Source sebagai solusi masalah
HAKI.
Sebagai perkembangan dari pemanfaatan aplikasi
open source, maka bila dana yang seharusnya digunakan untuk membeli perangkat
lunak, dikumpulkan untuk mendanai programmer Indonesia untuk mengembangkan
aplikasi Open Source tentu akan memberikan manfaat yang lebih besar,
daripada
membeli aplikasi jadi dari luar negeri. Tentu saja ini membutuhkan
visi masa depan, bukan sekedar visi jangka pendek.
Memang tidak harus suatu institut hanya memakai
Open Source, ataupun hanya memakai vendor based aggrement. Prosentase kombinasi
haruslah dipertimbangkan berdasarkan kebutuhan jangka panjang dan ketersediaan
dana.
Vendor-based atau Community based ?
Sebelum kita terlanjur menerapkannya secara total
kesepakatan lisensi yang berbasiskan vendor seperti Microsoft Campuss Agreement
(MCA) ini, tentu sebagai suatu institusi pendidikan haruslah kita mempertimbangkan
sesuai dengan misi institusi pendidikan, dan masa depan anak didik bangsa
Indonesia. Tidak dipungkiri lagi, usaha para vendor untuk memperkenalkan
program aplikasinya pada lingkungan pendidikan, tidak terlepas dari strategi
pemasaran yang dilakukannya. Manfaat seperti pemahaman teknologi, transfer
teknologi dapat dikatakan sangat minim dapat diterima oleh para anak didik.
Begitu juga transfer informasi ke kalangan pendidik pada institusi pendidikan
tersebut relatif minim. Bisa dikatakan informasi yang diperoleh hanyalah
pada lapisan kulit atau pada tingkatan operasional saja. Sebagai lembaga
pendidikan, sudah selayaknya bila kita memikirkan apa yang terbaik bagi
anak didik, terutama dari sisi proses pendidikan yang dialami serta masa
depannya. Bukan saja pada masa sesaat.
Biaya untuk lisensi seperti pada perhitungan di
atas memang tidak dapat dianggap enteng. Sebagai contoh Indiana University
harus menghabiskan dana sekitar 6 juta USD agar 100.000 mahasiswa dan stafnya
dapat memperoleh MS Office selama 4 tahun. Uni Texas menghabiskan sekitar
6,3 juta USD juga. Bila kita melakukan perhitungan estimasi untuk kondisi
Indonesia, mungkin akan memakan sekitar minimal 100.000 USD (sekitar Rp.,
700.000.000) untuk tiap Universitas. Informasi ini memang perkiraan kasar
karena informasi sesungguhnya sangat sulit diperoleh secara terbuka. Sekali
lagi siapa yang harus menanggung biaya ini...? Mahasiswa atau anak didiklah
yang menanggung semua biaya ini.
Keterbatasan kesepakatan ala vendor based tersebut
telah disadari oleh beberapa pemerintah dan lembaga pendidikan di negara-negara
lain sehingga tidak lah mengherankan, timbulnya suatu model lisensi yang
lain yang diklasifikasikan sebagai community based license aggreement.
Yaitu kesepakatan yang dilakukan oleh komunitas untuk saling membantu dalam
menerapkan suatu bentuk teknologi. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa
negara seperti
-
Prancis bahkan melibatkan lembaga pemerintahan untuk
melakukan kesepakatan ini.
-
Jerman dengan proyek Schul am Netz, yang membuat
koneksi ke Internet pada sekolah di Jerman dengan memanfaatkan Linux SuSE.
-
Mexico yang mendapatkan bantuan UNDP dalam melakukan
komputerisasi sekolah dengan memanfaatkan Linux RedHat.
-
Korea yang memandang Open Source sebagai suatu solusi
terhadap tuduhan pembajakan dan kesempatan berkembang industri lokal.
-
India.
-
Saudi Arabia.
Yang menjadi pertanyaan kapan Indonesia menyusul
?.
Call for Action - Open Source Campus Agreement
Penyadaran akan kesadaran mengenai HAKI ini memang
harus dimulai dari institusi pendidikan. Bahkan sebaiknya dimulai sejak
dini.
Seperti yang diutarakan pada berita KOMPAS 3 Januari :
Penyadaran HAKI Harus Mulai dari TK |
Penjiplakan karya ilmiah pada disertasi
program sarjana hingga profesor sudah beberapa kali ini terjadi. Yang paling
akhir di penghujung tahun 1999 adalah pembajakan karya ilmiah yang dituduhkan
oleh peneliti LIPI Moch Nurhasim kepada kolumnis Ipong S Azhar. Kasus plagiat
ini menunjukkan sikap masyarakat yang kurang menghargai karya orang
lain. Upaya penyadaran tentang pentingnya HAKI dijunjung tinggi, harus
dimulai sejak TK. Meredam munculnya kasus serupa, harus diwajibkan mendaftarkan
hak cipta karya ilmiah para mahasiswa atau peneliti kepada pihak institusi
atau badan hukum yang terkait.
Demikian penjelasan Didiek Hadjar
Goenadi PhD, Ahli Peneliti Utama di Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Bogor yang juga Ketua Umum Masyarakat Penemu Indonesia, kepada Kompas pekan
lalu di Jakarta.
Dikemukakannya, kejadian serupa
ini jika terus berlanjut sampai periode menjelang milenium III-saat persetujuan
Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs) dilaksanakan-maka
status Indonesia sebagai a nation with a Priority Watch List menjadi
nyata dan semakin jelas di mata dunia, terutama Amerika Serikat. "Kalau
sudah begini, harga diri ilmuwan Indonesia tercabik-cabik dan masuk
ke dalam kelompok mediocre scientists," ulasnya.
Kasus penjiplakan karya ilmiah atau
plagiat semacam ini merupakan akibat dari perilaku masyarakat Indonesia
yang kurang atau bahkan Masalah ini tidak dapat diatasi dalam sekejap,
tetapi memerlukan langkah yang sistematis dan terencana sejak dini. Target
pendidikan tentang masalah hak atas kekayaan intelektual (HAKI) adalah
mereka yang saat ini duduk di TK hingga SMP. Untuk yang sudah dewasa
atau SMU ke atas diperlukan upaya ekstra keras karena pada dasarnya perilaku
mereka telah terbentuk.
Faktor kedua yang memicu timbulnya
penjiplakan karya adalah lemahnya budaya menulis dan menggunakan dokumen
tertulis sebagai acuan. Di dunia internasional, semua kesepakatan harus
dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani, jika perlu ditambah
dengan dukungan legal.
.... |
Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/03/IPTEK/peny10.htm.
Untuk itu memang pihak Business Software Alliance,
dengan kerjasamanya dengan IIPS dan Microsoft untuk memasyarakatkan kesadaran
hak cipta perlu didukung. Akan tetapi disamping pemasyarakatan dengan solusi
lisensi kampus, perlu juga pihak pemerintah melakukan pemasyarakatan
solusi Open Source. Karena hal ini juga merupakan solusi untuk lepas
dari tuduhan pembajakan dan menghargai HAKI.
Solusi dengan menggunakan program Open Source
memungkinkan institusi pendidikan memperoleh program secara amat sangat
murah dan legal. Hal ini dilakukan dengan cara :
-
Institusi yang memiliki akses Internet ataupun yang
mampu dapat melakukan "mirroring" situs distribusi Linux misal RedHat,
Mandrake, SuSE dan lain sebagainya. Begitu juga dilakukan mirroring kepada
situs aplikasi yang populer misal Linuxberg dan Freshmeat.
-
Apabila mahasiswa ataupun staf yang membutuhkan program
dapat langsung mendownloadnya dari situs tersebut tanpa perlu membayar.
Dengan cara ini kendala mahalnya akses Internet untuk mendownload program
Open Source telah teratasi.
-
Lebih lanjut dapat bekerja sama dengan distributor
Linux yang ada untuk mengedarkan CD dan buku Linux dengan harga khusus
mahasiswa. Distribusi Linux ini tidak selalu yang berada di luar negeri,
dapat juga dengan distribusi Linux dalam negeri. Pengertian distribusi
Linux ini dapat juga merupakan distribusi Linux yang dibuat oleh para programmer
Indonesia.
Beberapa Departement, dan BUMN mulai melirik terhadap
solusi Open Source ini tetapi pernyataan atau commitment secara terbuka
belum dilakukan. Begitu juga dengan perguruan tinggi, dan ikatan profesi,
relatif masih memandang permasalahan ini belumlah menjadi masalah yang
berarti. Sebetulnya banyak perusahaan di Indonesia telah memanfaatkan program
Open Source, untuk bersiap-siap menghindari dari masalah ini. Bebeberapa
persusahaan ISP, Universitas telah menggunakan platform Linux ataupun FreeBSD
untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan beberapa Warung Internet, telah menggunakan
Linux untuk operasinya. Artinya Solusi tersebut dapat bekerja, dan
tinggal membutuhkan pemasyarakatan secara luas.
Melihat bahwa ancaman pasca Y2K ini telah di depan
mata, tampaknya sudah sepantasnya bila Perguruan Tinggi (baik negeri dan
swasta), bersama-sama dengan komunitas Open Source Indonesia, bekerja sama
untuk meningkatkan "awareness" masyarakat terhadap masalah ini. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan bergabung dalam mengembangkan Open Source Campuss
Agreement, sebagai suatu jawaban yang menyatakan keinginan untuk tak
bergantung pada rasa belas kasihan pihak luar, dan menjawabnya dengan kerjasa
antar perguruan tinggi di Indonesia dalam proyek Open Source.
Dalam memasyarakatkan Open Source Campuss Agreement
ini diharapkan kerja sama dari beberapa pihak antara lain :
-
Lembaga pendidikan. Sudah sewajarnya bila
Universitas, Sekolah memanfaatkan Open Source baik dalam operasionalnya,
maupun untuk pengajarannya. Hal ini disebabkan faktor harga (baik harga
perangkat lunak, maupun kebutuhan perangkat keras). Untuk argumentasi secara
detail dapat dibaca pada essay Platfrom apakah yang tepat untuk sarana
belajar kita menjelang abad 21?. [
http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/made/artikel/Abad21/]. Di samping
itu platform Open Source merupakan suatu platform alternatif yang dapat
dipilih oleh para anak didik.
-
Organisasi profesi bidang Teknologi Informasi.
Organisasi terkait bidang Teknologi Informasi seperti IPKIN, Apkomindo,
Apsiluki sewajarnya mencarikan solusi alternatif yang sesuai dengan kondisi
perekonomian Indonesia. Bila organisasi profesi ini dapat bekerja sama
untuk memasyarakatkan pemanfaatan Open Source, tentu akan memberikan dampak
mengurangi
beban devisa negara dan juga membuka kesempatan pengembantan teknologi
informasi di Indonesia. Argumentasi mengenai kemungkinan terbukanya pengembangan
teknologi informasi ini dapat dibaca pada essay GNU/Linux pembuka jalan
desentralisasi pengembangan teknologi informasi, [
http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/made/artikel/Desentralisasi/].
-
Praktisi hukum. Karena lisensi yang berbasikan
pada definisi Open Source merupakan suatu perkembangan baru dari HAKI maka
sudah sangat diharapkan bila praktisi hukum di Indonesia turut berpartisipasi
dalam memberikan suatu landasan hukum bagi definisi lisensi Open Source
sesuai dengan UU HAKI yang berlaku di Indonesia. Sistem lisensi dan hak
cipta pada program komputer memang sedikit berbeda dari sistem lainnya.
Sehingga sudah sepantasnya bila Indonesia juga mengikuti lisensi sistem
komputer yang saat ini sedang berkembang. Perbedaan pola lisensi ini dapat
dibaca pada essay di atas dan juga pada editorial Antara perang dan
'perang'... . [
http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/made/artikel/editorial/]
-
Organisasi pemerintahan dan BUMN. Di samping
memiliki dampak terhindarnya dari tuduhan pembajakan, pemanfaatan Open
Source akan memberikan dampak pada penghematan devisa negara secara luas.
Jadi sudah sepantasnya bila organisasi pemerintah dan BUMN juga melirik
pada solusi ini di samping solusi tawaran lisensi dari vendor komersial.
Pada saat ini beberapa BUMN seperti Pertamina, Telkom dan juga Departmen
seperti DepNaKer, BUMN telah memanfaatkan solusi Open Source ini, walau
masih dalam skala yang kecil.
-
Dunia usaha. Open Source merupakan suatu solusi
yang menarik bagi pengguna bisnis di era Internet ini. Hal ini disebabkan,
pengguna memperoleh suatu aplikasi berkualitas tinggi dengan harga yang
rendah. Jaminan tidak saja diberikan oleh produk yang telah teruji secara
luas, tetapi juga akan keberadaan source code. Argumentasi pemanfaatan
Open Source bagi dunia bisnis dapat dibaca di essay : GNU/Linux suatu
solusi tepat untuk dunia bisnis Indonesia, [
http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/made/artikel/LinuxBisnis/], dan
juga untuk pemanfaatannya di bidang e-commerce : Web sebagai Media Marketing,
-
[
http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/made/artikel/Web-Market/]
-
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Konsumen
bidang TI merupakan konsumen yang sangat lemah dalam perlindungan hak-haknya.
Open Source menempatkan konsumen memiliki pilihan lain dalam memilih teknologi
yang akan digunakannya. LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), sangat diharapkan partisipasinya dalam mempopulerkan pemanfaatan
Open Source ini. Adanya Open Source Campus Agreement ini dapat memberikan
pilihan lain pada penggunaan teknologi informasi. Sehingga kesan anak
didik sebagai sasaran pemasaran dari suatu vendor dapat dicegah.
Open Source tidak saja menyediakan suatu solusi yang
murah dan handal bagi dunia TI tetapi juga memberikan kesempatan bagi pengguna
dan para pengembang di Indonesia untuk mempelajari teknologi dan membuka
kesempatan untuk mengembangkannya. Teknologi yang tersedia pada aplikasi
Open Source sangat berorientasi kepada masa datang, hal ini ditunjukkan
pada kemampuan solusi pada arsitektur komputer paralel, dan super komputer
[
http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/made/artikel/BigFatWeb/].
Bagi perusahaan ataupun organisasi yang memberikan
dana untuk mengembangkan perangkat lunak Open Source ini, maka OpenSolution
merupakan salah satu platform yang dapat dimanfaatkan.
Memanfaatkan dana lebih
Mungkin bagi institusi atau universitas yang memiliki
cukup dana, mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar lisensi tidaklah
menjadi masalah. Akan tetapi bila kita pertimbangkan dalam lingkup nasional,
bila kita total jumlah universitas, maka dana yang harus dikeluarkan untuk
membeli perangkat lunak ini menjadi tinggi sekali. Sebagai gambaran kasar,
misal 5% penduduk Indonesia menggunakan komputer (jadi sekitar 10 juta
jiwa), bila 98% persen dari pengguna membeli perangkat lunak produk tersebut
maka sekitar 9,8 juta jiwa dengan biaya tiap produk sekitar 200 USD maka
total dana yang harus dikeluarkan seluruh Indonesia adalah sekitar USD
1.960.000.000 sekitar Rp 13.720.000.000.000 (>13 milyard rupiah
lebih). Dana ini relatif akan keluar Indonesia karena semuanya merupakan
produk import. Jelas ini merupakan suatu pemborosan devisa yang tak bisa
diabaikan.
Dana yang ada tersebut sebetulnya dapat dimanfaatkan
untuk hal lain yang lebih berguna. Di samping dapat melakukan terobosan
untuk permasalahan pembajakan perangkat lunak, dan kebutuhan perangkat
lunak. Semangat Open Source membuka suatu pola kerja sama yang baru. Pola
kerja sama ini dapat mendorong tumbuhnya industri teknologi informasi di
Indonesia dan makin dikenalnya industri Teknologi Informasi Indonesia di
mata dunia. Hal tersebut dilakukan dengan cara berikut :
-
Universitas, atau lembaga yang semula berkeinginan
membeli perangkat lunak atau menyisihkan dananya untuk lisensi khusus perangkat
lunak, dapat mengumpulkan dana tersebut untuk kepentingan pengembangan
aplikasi Open Source. Misal, setiap Universitas tersebut menyumbangkan
sekitar Rp 10.000.000,-. Jumlah ini dibandingkan untuk pembayaran lisensi
MCA masih sangatlah kecil.
-
Dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk mendanai
pengembangan perangkat lunak Open Source untuk kebutuhan Indonesia. Misal
mendorong pengembangan aplikasi seperti, sistem pengelolaan perpustakaan,
aplikasi perkantoran (otomasi surat-menyurat), pembuatan distribusi Linux
Indonesia dan sebagainya. Dana ini ditawarkan melalui mekanisme seperti
"lelang" ataupun ala RUT (Riset Unggulan Terpadu). Berbeda dengan RUT,
hasil dari pemanfaatan dana ini haruslah berupa hasil yang dapat dinikmati
oleh semua pengguna, dan tersedia secara Open Source.
-
Penawaran pemanfaatan dana ini tidak saja kepada
bentuk pembuatan perangkat lunak, akan tetapi bisa juga kepada bentuk yang
memudahkan pemasyarakatan atau pemanfaatan program Open Source. Misal pembuatan
modul pelatihan, pembuatan buku panduan, pembuatan knowledge based.
Pemanfaatan dana secara ini akan memberikan hal positif
ketimbang pembelian lisensi :
-
Dana yang dikeluarkan oleh tiap Universitas atau
lembaga tidak "lari" ke luar negeri. Karena akan dimanfaatkan untuk mendanai
tenaga kerja lokal.
-
Memberikan kesempatan kerja bagi pengembang perangkat
lunak dalam negeri. Juga memberikan kesempatan kerja bagi penulis tutorial,
panduan dan sebagainya (dan ini bukan saja untuk bidang komputer, juga
dapat melibatkan bidang lainnya)
-
Membutuhkan dana yang jauh lebih sedikit
-
Hasil dari kegiatan ini tidak saja dinikmati oleh
sebagian Universitas yang memiliki dana, akan tetapi dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat Indonesia, seluruh mahasiswa di Indonesia. Sehingga
universitas-universitas di daerah yang kurang mampu untuk mengembangkan
suatu aplikasi akan terbantu dengan adanya kegiatan ini.
-
Dengan mengembangkan solusi yang bersifat Open Source,
kiprah pengembang Indonesia akan makin dikenal di tingkat dunia.
Berdasarkan kemungkinan pengembangan, rendahnya biaya,
serta terbukanya kesempatan maka Open Source Campus Agreement dapat merupakan
suatu solusi bagi keterbatasan dana dan permasalahan hak cipta pada pemanfaatan
perangkat lunak di Indonesia. Khususunya di lembaga pendidikan.
Informasi terkait
.
|
|