|
Makalah:
HUBUNGAN POLITIK
INDONESIA – REPUBLIK FEDERAL
JERMAN
Awang Bahrin, SH.
Kepala Bidang Politik KBRI
Berlin
Daftar Isi:
I. Pendahuluan
II. Politik Luar Negeri Bebas
Aktif
III. Kebijakan Politik Luar
Negeri Jerman
IV. Hubungan Politik Indonesia
– Republik Federal Jerman
I. Pendahuluan
1. Hubungan diplomatik Indonesia
– RFJ sudah ada sejak tahun 1952. Hubungan tersebut berlangsung dalam suasana
yang cukup baik dan bersahabat meskipun dalam kurun waktu 48 tahun ada
pasang-surutnya tergantung dari faktor-faktor dalam negeri dan luar negeri
yang ikut menentukan kadar hubungan antara kedua negara.
Hubungan bilateral di berbagai
bidang boleh dikatakan meningkat karena memang merupakan keinginan dan
kepentingan masing-masing negara untuk meraih manfaat yang sebesar-besarnya
dari hubungan tersebut. Dewasa ini hubungan yang cukup intensif adalah
hubungan di bidang ekonomi dan perdagangan serta juga hubungan politik.
RFJ telah membantu penyusunan UU Perbankan, UU Antimonopoli, dan diharapkan
adanya berbagai masukan lagi sebagai perbandingan dalam rangka amandemen
UUD 45 dan penyempurnaan UU Otonomi Daerah. Berbagai bantuan teknik dan
pembangunan diberikan oleh RFJ kepada Indonesia dengan maksud untuk ikut
berpartisipasi memacu laju pembangunan ekonomi karena bagi Jerman bahwa
Indonesia yang stabil dan makmur merupakan pasaran empuk bagi hasil industri
mereka dan dari segi politik bahwa situasi demikian akan menjadikan Indonesia
sebagai stabilisator di kawasan Asia Tenggara.
2. Dengan terbentuknya pemerintahan
baru di kedua negara, maka tentunya ada perubahan nuansa dari pendekatan
hubungan walaupun tidak prinsipil. Pemerintah baru di RFJ kini dipegang
oleh Partai Sosial Demokrat (SPD) yang berkoalisi dengan Partai Hijau (Gruene)
setelah absen selama 16 tahun dipemerintahan karena dipegang oleh Partai
Uni Kristen. Pemerintahan sekarang cenderung antara lain mengadakan pendekatan
bilateral dengan memperhitungkan faktor HAM dan lingkungan hidup yang bila
dikaitkan dengan situasi Indonesia saat ini maka kedua hal tersebut masih
merupakan masalah bagi kita. Dipihak lain, Indonesia yang saat ini telah
membentuk pemerintahan yang paling demokratis selama berdirinya Indonesia,
telah mendapat dukungan positip dari masyarakat internasional termasuk
Jerman. Kunjungan Bapak Presiden Abdurrachman Wahid ke berbagai negara,
termasuk Jerman, telah mempererat kembali hubungan kedua negara dan adanya
komitmen tegas dari Jerman untuk membantu Indonesia yang telah menjadi
salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Sebagai negara yang menjalankan
prinsip-prinsip demokrasi secara konsekwen Jerman merasa mempunyai tanggung-jawab
moral untuk membantu perkembangan demokrasi di Indonesia, karena mementum
situasi di tanah air memberi peluang kepada pihak Jerman untuk memberi
bantuan apa saja tergantung dari apa permintaan dan kebutuhan yang diperlukan
oleh pihak Indonesia.
II. Politik Luar Negeri Bebas
Aktif
3. Sudah merupakan suatu konsensus
nasional bahwa dasar politik luar negeri kita adalah pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 dan GBHN dengan tujuan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan
watak dan sifatnya adalah anti kolonialisme. Secara eksplisit, istilah
politik luar negeri bebas aktif tersebut tidak terdapat dalam UUD ataupun
peraturan-peraturan lainnya. Namun istilah ini mulai banyak dipergunakan
oleh para politisi dan negarawan kita semasa memuncaknya perang Korea
(1950 – 1953). Kabinet RI ke-12 di bawah Perdana Menteri Dr. Sukiman (27
April 1951 – 3 April 1952) yang untuk pertama kalinya mencantumkan istilah
ini dalam Program Kabinet yang antara lain menyatakan „menjalankan politik
luar negeri yang bebas dan aktif menuju perdamaian“. Isitilah ini dipertegas
lagi oleh Presiden Soekarno pada HUT RI tgl. 17 Agustus 1952 bahwa „politik
bebas dan aktif menuju perdamaian dunia“.
Sejak itulah, istilah politik luar
negeri bebas dan aktif merupakan suatu istilah melekat dan istilah pelengkap
pada watak dan sifat haluan politik luar negeri yang berjiwa anti kolonialisme
dan pro-perdamaian dan tidak mengikatkan diri kepada salah satu blok kekuatan
militer serta dapat bekerjasama atas dasar hidup berdampingan secara damai.
Kebijakan politik luar negeri bebas aktif ini bukan merupakan suatu dogma
yang mati, melainkan hanya sebagai suatu pedoman dalam bertindak di antara
kedua kekuatan blok dunia pada saat itu yaitu Amerika Serikat dan sekutunya
vs Uni Soviet dan sekutunya, demi kepentingan nasional dan perdamaian internasional.
4. Dalam suasana perang dingin yang
tidak menentu, Gerakan Non Blok tahun 1961 muncul sebagai suatu gerakan
moral dari negara-negara dunia ketiga yang berupaya untuk menjembati perang
dingin dua kekuatan raksasa tersebut guna mencegah jangan sampai terjadi
konfrontnasi terbuka apalagi perang nuklir yang dapat memusnahkan peradaban
manusia. Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif itu sebenarnya
dapat bersifat kenyal artinya dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi
pada saat itu walaupun prinsipnya tetap tetapi nuansanya dapat berubah.
5. Pedoman pelaksanaan politik luar
negeri bebas aktif Indonesia dewasa ini adalah Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang antara lain menegaskan
arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan berorientasi pada
kepentingan nasional dengan menitik-beratkan pada solidaritas antara negara
berkembang, mendukung kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan dalam segala
bentuk serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional
bagi kesejahteraan rakyat. Di samping itu, dengan telah disyahkannya Undang-Undang
No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri tanggal 14 September 1999
maka Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan politik luar negeri selalu
merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tersebut.
6. Dengan berubahnya lingkungan
strategis dunia dewasa ini tentunya politik luar negeri kita perlu menyesuaikan
dengan kecenderungan global yang fundamental seperti:
Munculnya Amerika Serikat sebagai satu-satunya
adikuasa politik-militer di dunia dan dalam waktu yang bersamaan timbul
multi polarisme yang bersumber pada kekuatan-kekuatan politik ekonomi di
Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur;
Seiring dengan arus globalisasi dan
interdependensi, semakin menguatnya kondisi saling ketergantungan antar-negara
dan saling keterkaitan antara berbagai masalah-masalah global, baik dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, keamanan, lingkungan hidup dan lain-lain;
Semakin menguatnya peranan aktor non-pemerintah
dalam percaturan internasional;
Semakin menonjolnya masalah-masalah
transnasional seperti Hak Azazi Manusia (HAM), demokrasi, good gevernance
dan lingkungan hidup dalam agenda internasional.
Adanya perubahan lingkungan strategis
tersebut telah memaksa Pemri untuk menyesuaikan polugrinya sesuai dengan
tuntutan zaman bagi kepentingan nasional.
Situasi sosial politik dan keamanan
serta masalah ekonomi di tanah air dewasa ini juga menjadi pertimbangan
utama dalam pelaksanaan politik luar negeri kita saat ini.
Faktor-faktor internal dan external
tersebut cukup kuat mempengaruhi kearah mana polugri yang akan kita tuju
dewasa ini. Berdasarkan Pernyataan Pers Akhir Tahun, bulan Januari 2000
Menlu RI menyatakan bahwa prospek politik luar negeri Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Politik
Luar Negeri di tahun 2000 tampaknya akan dihadapkan pada berbagai tantangan,
di samping tentunya kemungkinan peluang-peluang baru yang perlu dicermati
secara seksama. Misi diplomasi akan tetap dikonsentrasikan pada upaya memperjuangkan
kepentingan nasional yang bersifat mendesak dan perlu diprioritaskan. Sekalipun
demikian, Indonesia secara aktif namun selektif akan tetap berperan serta
dalam berbagai aktivitas bagi perdamaian dunia dan tentunya stabilitas
di kawasan Asia Tenggara.
b. Modal dasar kinerja diplomasi
khususnya dalam hal memperbaiki citra Indonesia adalah keberhasilan pelaksanaan
pemilu 1998, proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang transparan
dan demokratis serta mulai berfungsinya mekanisme check and balance antara
eksekutif dan legeslatif. Dinamika ini menyebabkan bangsa Indonesia dewasa
ini dikategorikan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Dalam kaitan ini, kinerja diplomasi di berbagai fora internasional akan
ditujukan untuk menjelaskan pada khalayak internasional bahwa bangsa Indonesia
kini telah berada di jalur yang benar (the right path and direction) menuju
Indonesia baru yang lebih demokratis.
c. Namun demikian dalam konteks
nasional, modal dasar bagi pembangunan citra positip termaksud masih perlu
ditopang dengan berbagai pekerjaan rumah yang tidak sedikit namun
mendesak sifatnya, seperti: ihwal penegakan dan kepastian hukum, pembangunan
aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa, pemajuan dan perlindungan
HAM, serta penanganan berbagai isu yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Apabila isu-isu ini dapat ditangani dengan baik maka kinerja diplomasi
untuk memperjuangkan berbagai kepentingan nasional yang mendesak
sifatnya akan sangat terfasilitasi.
d. Dalam konteks bilateral, Indonesia
bermaksud untuk lebih memantapkan sekaligus meningkatkan hubungan bilateral
dengan negara-negara sahabat, seraya terus menjajagi kemungkinan perintisan
pembinaan hubungan bilateral dengan negara-negara yang dinilai berpotensi
membantu upaya pencapaian kepentingan nasional Indonesia. Indonesia juga
akan terus mengupayakan kehidupan politik bertetangga baik dengan negara-negara
yang secara geografis berbatasan langsung, namun tentunya dengan tetap
didasarkan pada prinsip kesejajaran dan saling menghormati. Dalam hal Timor
Timur, sekalipun dihadapkan pada kendala adanya berbagai keterbatasan,
Indonesia akan tetap membantu proses transisi menuju kemerdekaan
penuh Timor-Timur.
e. Sementara itu, sekalipun Indonesia
dalam lima tahun ke depan telah berkomitmen untuk membina hubungan bersahabat
yang lebih baik dengan beberapa negara besar yang merupakan major powers
di Asia, hal ini tidaklah berarti Indonesia akan menomor-duakan hubungannya
dengan berbagai negara sahabat yang secara geografis berjauhan dengan Indonesia.
Rangkaian kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid selama tahun 1999 ke beberapa
negara di berbagai kawasan, mensiratkan keteguhan prinsip menjaga hubungan
bilateral dengan berbagai negara yang merupakan mitra sejajar Indonesia.
Adapun komitmen untuk mengoptimalkan hubungan bersahabat dengan beberapa
major powers Asia merupakan konsekwensi logis dari kenyataan geografis
Indonesia yang merupakan bagian integral dari Benua Asia.
f. Dalam konteks regional, Indonesia
memasuki tahun 2000 dengan sikap optimisme khususnya dengan memperhatikan
kecenderungan mulai pulih, membaik dan stabilnya perekonomian negara-negara
di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur pada umumnya. Dalam konteks upaya
bersama bagi pemulihan perekonomian Asia Tenggara, Indonesia sangat mendukung
dan akan berpartisipasi aktif dalam berbagai langkah inovatif ASEAN, seperti
rencana penggelaran promosi investasi bersama (Joint Investment Roadshow)
yang akan dilakukan di tahun 2000, serta upaya untuk meningkatkan daya
saing pasar AFTA melalui pengembangan ASEAN initiative.
g. Indonesia percaya bahwa tergabungnya
kesepuluh negara Asia Tenggara dalam suatu wadah bersama merupakan modal
dasar bagi revitalisasi kerjasama ASEAN di awal abad ke-21. Diharapkan
proses pemantapan kerjasama dalam tubuh ASEAN akan menyebabkan organisasi
ini dapat lebih berperan dalam upaya membantu menangani berbagai permasalahan
yang dihadapi masing-masing negara anggota ASEAN, tanpa tentunya perlu
melanggar prinsip non-interference ASEAN.
h. Dalam konteks global, Indonesia
tetap menaruh harapan besar pada PBB dan tetap meyakini keabsahan institusi
ini sebagai satu-satunya lembaga multilateral yang paling kompeten dalam
pengambilan keputusan-keputusan penting yang bersifat mendunia. Namun Indonesia
merasa prihatin atas kecenderungan ditinggalkannya PBB dalam penanganan
masalah-masalah perdamaian dan keamanan, karena institusi ini dinilai tidak
berdaya mengatasi berbagai konflik. Kelambanan PBB ini mendorong negara-negara
besar tertentu untuk menggunakan kekuatan militer secara sepihak (unilateral)
di luar kerangka PBB guna menghentikan eskalasi konflik, sebagaimana dalam
krisis Kosovo di tahun 1999. Kebijakan sepihak yang tidak mengindahkan
tata cara dan norma-norma internasional ini, selain bertentangan dengan
prinsip kedaulatan negara dikhawatirkan dapat mengundang reaksi balasan
(counter reaction), sehingga berpontensi mengganggu perdamaian dan stabilitas
dunia. Selain itu, penanganan krisis Kosovo secara sepihak menimbulkan
kekhawatiran mengenai munculnya hegemonisme baru di awal abad ke-21. Indonesia
berharap penanganan krisis seperti Kosovo serta kecenderungan penerapan
humanitarian intervention dapat dihindari di tahun 2000 dan tahun-tahun
selanjutnya.
i. Memperhatikan berbagai realitas
di atas, maka di masa mendatang politik luar negeri Indonesia akan memprioritaskan
hal-hal sebagai berikut:
Citra Indonesia di mata masyarakat
internasional perlu segera dipulihkan kembali karena berkaitan erat dengan
kapasitas Indonesia untuk berperan aktif dalam percaturan internasional
serta menjamin arus investasi ke Indonesia;
Politik luar negeri Indonesia tetap
ditujukan untuk menjaga kekuatan wilayah Indonesia, persatuan bangsa serta
stabilitas nasional.
Politik luar negeri Indonesia perlu
terus diabdikan untuk menunjang kesejahteraan umum dan pemulihan total
ekonomi nasional. Dalam hal ini, kedekatan Indonesia dengan negara-negara
donor Barat akan tak terelakkan;
Kebijakan hubungan ekonomi luar negeri
perlu dilakukan dengan pendekatan secara politis-ekonomis tanpa mengabaikan
stabilitas keamanan, sosial dan budaya yang diarahkan untuk menunjang prioritas
pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat;
Indonesia perlu tetap berperan aktif
di ASEAN serta menjaga kekompakan (cohesion) sesama ASEAN. Dalam 32 tahun
terakhir, Indonesia bersama negara ASEAN lainnya memainkan peranan sentral
dalam membangun ASEAN dan membina orde regional kawasan;
Indonesia perlu mewaspadai kiprah negara-negara
Barat yang makin cenderung untuk memaksakan agenda politiknya terhadap
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dengan menggunakan tekanan-tekanan
ekonomi dan politik serta berbagai bentuk sanksi. Demi kepentingan nasional,
perlu diupayakan agar sejauh mungkin tekanan-tekanan tersebut dapat dihindarkan
dengan menggalang solidaritas Asia. Khususnya perlu digalang kerjasama
strategis di bidang politik dengan RRC dan India, sambil terus meningkatkan
kerjasama regional Asia Timur, seperti negara-negara ASEAN, RRC, Jepang
dan Korea Selatan sebagai komponen utamanya;
Indonesia tetap perlu menjalankan politik
luar negeri yang rasional dan moderat dengan mengandalkan prinsip-prinsip
kerjasama internasional, saling menghormati kedaulatan nasional, dan non-interference.
Diplomasi Indonesia dilaksanakan dengan menjauhi sikap konfrontatif.
Indonesia perlu terus berperan aktif
dalam diplomasi preventif dan upaya penyelesaian konflik;
Hingga saat ini hubungan perdagangan
luar negeri dilakukan dengan cara konvensional yaitu dengan hanya melihat
kepada upaya-upaya untuk meningkatkan perdagangan ke pasar internasional.
Untuk waktu ke depan diperlukan upaya-upaya untuk memperluas akses pasar
dengan mencari potensi pasar yang baru seperti antara lain pasar di kawasan
Timur Tengah;
Dalam upaya untuk meningkatkan arus
investasi asing ke Indonesia, telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) antara Menteri Luar Negeri dan Menteri Investasi/Kepala BKPM pada
tgl. 18 Mei 1999 tentang penugasan khusus kepada Perwakilan RI mengenai
peningkatan kegiatan promosi investasi dan penyelesaian aplikasi persetujuan
investasi di Perwakilan RI. Untuk itu, Departemen Luar Negeri perlu mempersiapkan
SDM yang handal dengan anggaran cukup bagi pelaksanaan SKB tersebut;
Sebagai upaya untuk mengembalikan citra
pariwisata yang terpuruk tersebut, telah ditandatangani Nota Kesepakatan
Bersama antara Departemen Luar Negeri dengan Departemen Seni dan Budaya
pada tgl. 19 Oktober 1999 tentang pelaksanaan promosi pariwisata oleh Perwakilan
RI di luar negeri. Untuk itu, Departemen Luar Negeri perlu melakukan langkah-langkah
untuk melaksanakan upaya promosi tersebut;
Sektor jasa yang perlu mendapat perhatian
antara lain sektor perhubungan, pengiriman tenaga kerja Indonesia yang
terlatih dan pengembangan kerjasama usaha kecil menengah.
III. Kebijakan Politik Luar
Negeri Jerman
7. Sejak tercapainya kesepakatan
koalisi antara Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau (Gruene) tanggal
20 Oktober 1998 untuk membentuk pemerintahan, maka pada prinsipnya politik
luar negeri Jerman tidak mengalami perubahan mendasar dan masih bersifat
melanjutkan kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya. Secara umum, pedoman
kebijakan politik luar negeri RFJ antara lain:
mengupayakan adanya suatu kerjasama
damai dengan negara-negara tetangga;
pengembangan kerjasama trans-atlantik;
memperluas kerjasama Uni Eropa;
memperkuat kerjasama pan-European di
Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa;
ikut bertanggung jawab bagi demokrasi
dan stabilitas di kawasan Eropa Tengah, Timur dan Tenggara;
penghormatan terhadap hukum internasional
dan komitmen terhadap hak-hak azazi manusia;
dalam menghadapi tantangan-tantangan
baru di bidang ekonomi, teknologi, sosial dan ekologi, RFJ akan mengembangkan
kebijakan pertahanan dan luar negeri sebagai suatu sumbangannya ke arah
perlindungan masa depan dunia;
tetap memenuhi komitmen terhadap hubungan
internasional, pembatasan persenjataan, perlucutan senjata, keseimbangan
kepentingan antara kawasan-kawasan di dunia baik secara ekonomi, ekologi
dan keadilan sosial serta penghormatan terhadap hak-hak azazi di seluruh
dunia;
mendorong agar proses integrasi Eropa
segera dapat tercapai sehingga bila berhasil menciptakan suatu „political
union“ maupun „social and environmental union“ maka diharapkan akan membawa
Eropa lebih dekat kepada rakyat sehingga Uni Eropa akan lebih responsif
terhadap kepentingan-kepentingan rakyatnya;
integrasi RFJ ke dalam Uni Eropa merupakan
suatu hal penting dalam kebijakan RFJ. Oleh karena itu, RFJ sangat berkepentingan
dalam masalah-masalah Uni Eropa seperti proses integrasi Eropa, pengangguran,
mata uang tunggal EURO, masalah lingkungan, masalah persamaan kesempatan
pada tingkat Eropa, demokrasi, dan upaya untuk memperkuat Parlemen Eropa;
dalam rangka pengawasan perlucutan
senjata nuklir, senjata kimia, senjata biologi dan senjata pemusnah massal
lainnya, RFJ tetap menaruh perhatian penting dalam bidang ini sebagai suatu
upaya pemeliharaan perdamaian secara global. RFJ tetap patuh terhadap tujuan
penghapusan secara total semua senjata-senjata pemusnah massal dan akan
selalu berpartisipasi dan berinisiatif guna mewujudkan tujuan ini dengan
selalu bekerjasama pada pihak-pihak yang menjadi mitra dan sekutu Jerman.
Suatu perlucutan senjata secara unilateral dapat merupakan pendorong yang
berarti bagi proses perlucutan senjata secara lebih luas.
PBB sebagai forum paling penting bagi
pemecahan masalah-masalah global, maka perlu adanya upaya untuk memperkuat
PBB, baik secara politis maupun secara ekonomis dan mereformasinya guna
meningkatkan kemampuan dalam menangani masalah-masalah internasional. Partisipasi
tentara RFJ dalam usaha menjaga perdamaian dan keamanan internasional adalah
berdasarkan hukum internasional dan Undang-Undang Dasar Jerman. Oleh karena
itu, RFJ akan memainkan peran aktif dalam mempertahankan PBB sebagai suatu
„power monopoly“ dan berupaya juga untuk memperkuat peranan Sekjen PBB;
8. Sebagaimana Indonesia, kebijakan
politik luar negeri RFJ ini tentunya disesuaikan dengan lingkungan strategis
yang dikaitkan dengan kepentingan nasional RFJ. Pendekatan RFJ yang nampaknya
lebih menitik beratkan kepada masalah Eropa, kiranya dapat dimengerti karena
disitulah kepentingan RFJ saat ini.
IV. Hubungan Politik Indonesia
– Republik Federal Jerman
9. Adanya pergantian pemerintahan
yang hampir bersamaan antara kedua negara, telah memberikan nuansa-nuansa
tersendiri terhadap hubungan kedua negara. Pemerintahan baru RFJ di bawah
Koalisi Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau (Gruene) menganggap penting
perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia, khususnya pemerintah baru
di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi perhatian penuh terhadap
masalah demokratisasi dan penanganan masalah pelanggaran hak-hak azazi
manusia. Penekanan polugri RFJ yang antara lain mencakup masalah-demokratisasi,
masalah hak-hak azazi manusia dan lingkungan kiranya merupakan tolok ukur
dalam menilai dan mengadakan hubungan baik dengan suatu negara termasuk
Indonesia. Sebagai negara yang melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi secara
konsekwen RFJ melihat Indonesia saat ini sebagai suatu negara yang mengalami
transisi sulit dari suatu budaya politik yang diktator sebelumnya berupaya
menjadi negara yang demokratis dan transparan dalam mekanisme pelaksanaan
pemerintahan.
10. Hubungan baik kedua negara telah
terbina sejak lama dan cukup hangat pada saat berkuasanya Presiden Soeharto
dan Kanselir Helmut Kohl. Tercatat 4 kali kunjungan Kanselir Helmut Kohl
ke Indonesia (1983, 1988, 1993 dan 1996) serta kunjungan Presiden Karl
Carstens tahun 1984, sedangkan Presiden Soeharto dua kali mengunjungi Jerman
yaitu tahun 1991 dan 1995. Di samping banyaknya saling kunjung dari kepala-kepala
negara/pemerintahan tersebut, tercatat pula kunjungan para pejabat tinggi
seperti para menteri, Ketua dan anggota Parlemen, Dirjen, Direktur dan
para pejabat tinggi lainnya termasuk pula rombongan/misi-misi dagang. Saling
kunjung ini merupakan salah satu indikator betapa baiknya hubungan kedua
negara yang hingga saat ini masih tetap dapat terpelihara dengan baik.
11. Kalau kita amati pola pendekatan
hubungan terhadap Indonesia semasa Kanselir Helmut Kohl dengan Kanselir
Gerhard Schroeder (SPD), terdapat perbedaan pendekatan. Pada waktu Helmut
Kohl pendekatan hubungan lebih banyak didasarkan pada hubungan pribadi
antara Kanselir Helmut Kohl dan Presiden Soeharto tanpa banyak memperhatikan
masalah-masalah hak azazi manusia, demokratisasi dan lingkungan. Sedangkan
pola pendekatan Kanselir Gerhard Schroeder (SPD) saat ini lebih menekankan
kepada 3 hal tersebut di atas. Dengan demikian, walaupun hubungan pendekatan
Indonesia – RFJ semasa Helmut Kohl dan Soeharto kurang memperhatikan ketiga
hal tersebut di atas, tetapi hubungan tetap berjalan dengan baik, karena
dilandasi pada hubungan pribadi yang begitu erat. Pada masa kepemimpinan
B. J. Habibie di satu pihak dan Kanselir Gerhard Schroeder (SPD) di lain
pihak, hubungan juga berjalan dengan baik, karena adanya komitmen dari
Presiden Habibie untuk menata Indonesia agar lebih demokratis dan upaya
penyelesaian dan penghormatan masalah hak-hak azazi manusia secara lebih
serius, selain juga faktor B. J. Habibie sebagai seorang alumnus dari Aachen,
Jerman. Pergantian B. J. Habibie kepada Abdurrahman Wahid sebagai Presiden
ke-4 RI tidak merubah hubungan baik yang telah terbina selama ini karena
komitmen kuat Presiden Abdurrahman Wahid terhadap masalah-masalah demokratisasi
dan masalah hak azazi manusia telah memberikan dorongan kuat bagi terpeliharanya
hubungan baik tersebut. Di samping berbagai kepentingan lainnya seperti
kepentingan politis dan ekonomis yang melihat Indonesia sebagai suatu kekuatan
yang potensial di kedua bidang tersebut.
12. Dalam konteks regional, kerjasama
di bidang politik juga cukup erat di mana terlihat dari baiknya hubungan
kerjasama antara lain ASEAN – Uni Eropa. Walaupun kerjasama ini dalam bentuk
institusi dari kawasan regional namun pendekatan hubungan bilateral tetap
mempunyai peranan penting dalam upaya membantu eratnya hubungan tersebut.
Tampilnya ASEAN sebagai suatu kekuatan kelompok perlu dibina terus guna
menghadapi kekuatan kelompok regional lain yang nampaknya lebih solid seperti
Uni Eropa. Sebagai suatu negara yang dianggap penting di ASEAN dan juga
oleh Uni Eropa, Indonesia dapat memainkan peranan penting bersama-sama
dengan negara berpengaruh di Uni Eropa seperti Jerman. Dalam kenyataannya
memang demikian, karena Jerman secara politis tidak pernah usil terhadap
Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat sewaktu penyelesaian masalah
Timor-Timur, di mana Jerman selalu konsisten dengan sikapnya yang mendukung
upaya penyelesaian masalah tersebut melalui dialog segitiga yang difasilitasi
oleh Sekjen PBB sebagai suatu penyelesaian yang dapat diterima secara internasional.
Jerman juga tidak ingin masalah Timor Timur dibahas dalam dialog ASEAN
– UE dan ASEM. Namun sebagai anggota UE, kiranya Jerman sulit seorang diri
menentang resolusi Parlemen Eropa mengenai Timor Timur dan resolusi lainnya
yang berkaitan dengan Indonesia khususnya pada masa-masa sulit pasca jajak
pendapat di Timor Timur yang menimbulkan banyak persoalan seperti adanya
tuduhan masalah pelanggaran hak azazi manusia.
13. Dalam konteks internasional,
pendekatan secara bilateral juga terbina dengan baik. Kerjasama ini dapat
terwujud antara lain dalam bentuk saling meminta dukungan politis bagi
pencalonan calon masing-masing pihak di berbagai fora internasional khususnya
badan-badan PBB. Pendekatan dapat dilakukan oleh Kedubes masing-masing
pihak di Kementerian Luar Negeri negara akreditasi atau juga dapat dilakukan
bersamaan oleh Dubes masing-masing pihak yang diakreditasi pada PBB. Saling
mendukung seperti ini adalah hal yang lumrah namun bila hubungan bilateral
yang tidak begitu baik dan kurangnya lobby terhadap negara setempat maka
jangan diharapkan dukungan tersebut dapat diperoleh. Saling dukung juga
dapat terjadi pada badan-badan internasional yang berbeda misalnya Jerman
mendukung keanggotaan Indonesia di International Maritime Organization
(IMO) sedangkan Indonesia mendukung keanggotaan Jerman di International
Civil Aviation Organization (ICAO). Prinsip saling dukung ini dapat berjalan
lancar bila masing-masing pihak merasa sangat berkepentingan untuk mendapatkan
dukungan. Adakalanya permintaan dukungan hanya sepihak (tidak saling dukung)
oleh salah satu negara, misalnya Indonesia meminta dukungan calon Indonesia
menjadi anggota Hakim Mahkamah International Hukum Laut, namun karena ada
pertimbangan-pertimbangan tertentu maka Jerman tidak dapat mendukung calon
Indonesia tetapi mendukung calon dari negara lain, dan begitu pula sebaliknya
bagi Indonesia bila ada permintaan dukungan dari salah negara anggota ASEAN
maka prinsip utama dukungan perlu memperhatikan negara anggota di kawasan
dari pada negara-negara di luar kawasan.
Dalam praktek di multilateral,
tidak jarang delegasi Indonesia bekerjasama dengan delegasi Jerman dalam
upaya menyelaraskan posisi terhadap suatu masalah yang sedang dibahas seperti
isi rancangan resolusi, co-sponsor resolusi dan hal-hal lain yang sangat
bermanfaat bagi kelanjutan kerjasama antara kedua belah pihak.
14. Kunjungan Presiden Abdurrahman
Wahid yang didampingi beberapa Menteri terkait dan sejumlah besar pengusaha
Indonesia ke Bonn dan Berlin tanggal 3-4 Pebruari lalu, telah lebih mempererat
hubungan baik kedua negara. Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia yang
mampu menumbangkan rezim otoriter, Indonesia kini telah bangkit menjadi
salah satu negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan
India. Momentum yang baik ini perlu dijaga terus untuk lebih memantapkan
pertumbuhan demokrasi kita, dan itulah salah satu inti misi kunjungan Presiden
Abdurrahman Wahid ke beberapa negara termasuk Jerman untuk mendapatkan
dukungan politis terhadap pemerintahan baru Indonesia yang dipilih secara
demokratis, selain juga upaya untuk memulihkan citra Indonesia dan menarik
investasi asing ke Indonesia.
Untuk lebih memantapkan hubungan
yang sangat baik saat ini, kiranya Indonesia perlu lebih banyak menyerap
teknologi dan investasi Jerman ke Indonesia. Kedua bidang tersebut membutuhkan
sumber daya manusia yang tidak sedikit, sehingga kerjasama di bidang pendidikan
kiranya amat penting bagi persiapan penyediaan sumber daya manusia tersebut.
Untuk investasi nampaknya tidak ada masalah bagi Jerman karena sumber daya
alam dan sumber tenaga manusia tersedia banyak di Indonesia. Hanya saat
ini yang agak mengganggu bagi investasi asing adalah masalah kestabilan
politik dan keamanan serta kepastian hukum. Apabila hal ini dapat diatasi,
maka dapat dipastikan bahwa investasi dan teknologi Jerman secara berangsur-angsur
akan datang ke Indonesia.
***
. |
|