_________ 
Logo FDIB
__________ 
 
FDIB, Berlin, 16.09.2000
 
  Ringkasan

Keterlibatan Bioteknologi 
Dalam Melestarikan Hutan Indonesia

Adi Rahmat*



Hampir semua orang telah mengetahui pentingnya hutan bagi kehidupan manusia di atas muka Bumi ini. Sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu hutan telah dimanfaatkan manusia untuk menunjang kehidupannya. Bahkan sampai saat inipun masih banyak masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hutan. 

Hutan, seiring dengan perkembangan aspek-aspek kehidupan manusia, telah mengalami penyusutan luas. Eksploitasi hutan dengan tujuan ekonomi telah menyebabkan hilangnya sebagian besar hutan. Dampak negatif dari penyempitan luas hutanpun kini telah kita rasakan, mulai dari erosi, banjir sampai apa yang dinamakan pemanasan global. Dari sini manusiapun mulai meneriakan pentingnya menjaga kelestarian hutan.

Manfaat hutan kini di rasa tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia secara langsung saja, tetapi juga sebagai tempat tersimpannya sumber plasma nutfah, yakni sebagai tempat berkumpulnya jenis-jenis alami yang melalui sentuhan teknologi bisa menjadi jenis yang berguna bagi manusia. Dalam sistem perekonomian bangsa dan bahkan sistem perekonomian dunia, hutan juga memiliki arti yang sangat penting. Hutan bisa mendatangkan devisa yang sangat besar bagi negara. Manfaat lain yang tidak kalah penting adalah bahwa hutan merupakan wahana dalam melestarikan ekosistem, baik dalam pengertian regional maupun global.

Dari segi kepentingan komersial, hutan merupakan sumber kayu untuk konstruksi atau bahan bangunan, sumber bahan mentah untuk produksi kertas dan pulp, serta sebagai sumber energi. Secara teoritis pemenuhan kepentingan akan kayu yang bersumber dari hutan diharapkan tidak mengurangi luasnya hutan yang ada, serta tidak merusak dan mengurangi jenis-jenis makhluk hidup yang ada di dalamnya, sehingga hutan akan tetap mampu menyangga kehidupan manusia di masa yang akan datang serta mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem. Konsep pengelolaan hutan seperti ini sesuai dengan apa yang diinginkan dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Namun demikian, dalam kenyataannya eksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan akan kayu telah menyebabkan berbagai kerusakan hutan hingga hilangnya sebagian luas hutan. Ketidakseimbangan antara laju penebangan dan penanaman kembali merupakan penyebab utama hilangnya sebagaian luas hutan. 

Untuk mencegah laju penyusutan luas hutan atau deforestrasi yang semakin besar diperlukan adanya usaha global untuk memasukan tumbuhan-tumbuhan hutan penghasil kayu ke dalam era modern pemuliaan tanaman (plant breeding). Optimasi produktivitas hutan dengan memperhatikan jenis tumbuhan yang menjadi sumber utama penghasil kayu di masa yang akan datang melalui program-program peningkatan kualitas yang terakselerasi dengan memadukan teknik-teknik konvensional dan modern merupakan kunci keberhasilan reforestrasi (penghutanan kembali) dan managemen hutan komersial di masa yang akan datang.

Dewasa ini, program-program peningkatan kualitas produksi hutan lebih didasarkan pada managemen sumber genetik yang meliputi seleksi, propagasi dan pemulian klasik (clasical breeding) dari jenis-jenis terpilih. Sentuhan bidang bioteknologi pada jenis-jenis tumbuhan hutan dirasakan masih sangat kurang. Walaupun pada bidang agrikultur teknik-teknik pemuliaan molekular (molecular breeding) telah banyak dikembangkan, terutama pada jenis-jenis tanaman budidaya seperti sayuran dan tanaman hias, penggunaannya untuk tumbuhan hutan masih sangat jauh tertinggal.

Penggunaan bioteknologi dalam bidang kehutanan perlu ditingkatkan sampai pada aspek molekular. Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat tumbuhan-tumbuhan hutan akan menjadi target utama dalam rekayasa genetik dan pemuliaan molekuler (molecular breeding) di abad 21. Potensi bioteknologi untuk menunjang program-program pemuliaan tumbuhan hutan dapat dilaksanakan dalam berbagai tingkatan, mulai dari 1) propagasi klon dari genotip terpilih melalui teknik kultur jaringan (in vitro technique), 2) teknik sel somatik (somatic-cell technique) seperti hibridisasi somatik dengan menggunakan protoplas, 3) teknik mutasi terinduksi, sampai pada 4) teknik rekayasa genetik, terutama melalui transformasi genetik untuk memperoleh varietas tanaman yang lebih unggul.

Beberapa teknik propagasi tumbuhan hutan melalui system in vitro dewasa ini telah banyak dan bahkan sudah lazim digunakan. Namun sebagian besar masih di dasarkan pada teknik perbanyakan tunas dan organogenesis. Propagasi melalui teknik embriogenesis somatik masih belum banyak dilakukan. Propagasi melalui teknik embriogenesis somatik memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan teknik perbanyakan tunas atau organogenesis. Selain mempunyai sifat genetik yang sama, tumbuhan-tumbuhan yang dihasilkan melalui teknik ini mempunyai sistem perakaran yang sama dengan tumbuhan-tumbuhan yang dihasilkan melalui reproduksi generatif karena secara struktur embrio somatik memiliki kesamaan dengan embrio zigotik yang dihasilkan melalui reproduksi generatif. Selain itu, embrio somatik yang dihasilkan dapat disimpan dalam jangka waktu lama sebagaimana layaknya biji yang dijadikan benih serta memungkinkan untuk diproduksinya biji buatan (synthetic seed; synseed). Teknik embriogenesis somatik yang digunakan untuk menunjang hutan produksi telah dengan mapan digunakan antara lain di New Zealand dengan Pinus radiata sebagai tumbuhan utama penghasil kayu.

Teknologi biji buatan memang tidak bisa menggantikan strategi pemuliaan konvensional yang selama ini digunakan dalam mencapai peningkatan kualitas maupun kuantitas yang progresiv. Akan tetapi, teknologi biji buatan dapat digunakan dalam menunjang produksi biji yang selama ini dilakukan secara konvensional, terutama untuk mengatasi terjadinya penyilangan alami antara dua induk pembawa sifat yang tidak dikehendaki. Aplikasi teknologi biji buatan ini dapat digunakan dalam usaha antara lain mengklon pohon-pohon yang dapat menghasilkan kayu dalam jumlah besar, mengklon tumbuhan yang resisten terhadap stress lingkungan dan atau hama, memperbanyak tumbuhan yang secara alami (secara generatif) hanya memproduksi biji dalam jumlah yang relatif sedikit, mengkonservasi jenis-jenis tumbuhan langka dan mempropagasi varietas tumbuhan dengan ornamen yang langka. Jadi, antara teknologi biji buatan dan strategi pemuliaan konvensional satu sama lain akan saling melengkapi.
 

Transformasi genetik pada tumbuhan dewasa ini telah menjadi teknik umum baik dalam penelitian maupun dalam memasukan sifat-sifat baru yang positif ke dalam jenis-jenis tumbuhan yang secara komersial sangat penting. Banyak alat dan cara yang saat ini telah tersedia untuk mentransformasikan gen ke dalam sel tumbuhan. Dua diantaranya yang paling sering digunakan adalah teknik transformasi gen yang dibantu Agrobakterium (Agrobacterium mediated transformation) dan teknik yang dikenal sebagai “particle bombardment”. Pada teknik yang kedua, gen yang akan ditransformasikan ditembakan secara langsung ke dalam sel target. Ada dua jenis sel target yang berdasarkan penelitian merupakan sel-sel yang cocok untuk teknik transformasi yang kedua ini, yakni sel-sel embriogenik dan serbuk sari. Dari segi keberhasilan, penggunaan teknik “particle bombardment” jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan Agrobacterium. Namun dalam segi efisiensi transformasi, teknik dengan menggunakan Agrobakterium tampaknya lebih baik dari pada “particle bombardment”. Hal ini dikarena transformasi dengan Agrobacterium umumnya menghasilkan tumbuhan transforman yang lebih stabil. Selain itu, cara yang digunakan jauh lebih mudah dan biaya yang diperlukan relatif lebih murah. 

Dalam bidang kehutanan, terutama bagi hutan-hutan produksi, penggunaan teknik transformasi genetik dalam program-program pemuliaan terutama ditujukan secara langsung pada peningkatan performa batang dan kualitas kayu meliputi modifikasi biokimia karakteristik kayu dan struktur batang, serta peningkatan laju pertumbuhan dan perubahan bentuk batang. Disamping itu, transformasi genetik juga dapat ditujukan dalam usaha memperoleh tumbuhan-tumbuhan yang memiliki performa sistem perakaran dan kanopi pohon yang lebih baik, tumbuhan-tumbuhan yang resisten terhadap hama, dan tumbuhan-tumbuhan yang toleran terhadap stress abiotik.

Peningkatan kualitas kayu yang menyangkut modifikasi biokimia kayu sangat berkaitan erat dengan usaha-usaha dalam memodifikasi kandungan lignin dalam kayu. Lignin bersama-sama dengan selulosa merupakan suatu komponen penting pada tumbuhan-tumbuhan berpembuluh dan dapat ditemukan dalam jumlah yang besar pada dinding sel sekunder, serat dan pembuluh angkut xilem. Fungsi lignin dalam tumbuhan selain sebagai penunjang mekanik (mecanical support) juga sangat penting dalam membantu pertahanan tumbuhan terhadap patogen. Untuk kepentingan industri ada dua kemungkinan berlawanan yang menyangkut modifikasi kandungan lignin dalam kayu. Pertama, bila kayu yang diproduksi diperlukan untuk penghasil energi, maka kandungan lignin perlu ditingkatkan karena secara kimia lignin mengandung energi yang banyak bila dibandingkan dengan komponen-komponen kayu lainnya. Kedua, bila kayu yang diproduksi diperlukan sebagai bahan baku kertas dan pulp, maka kandungan lignin di dalam kayu perlu dikurangi karena dalam pembuatan kertas dan pulp yang diperlukan hanyalah selulosa. Jadi untuk keperluan ini bioteknologi dapat digunakan dalam usaha meningkatkan kandungan selulosa dan mengurangi kandungan lignin dalam kayu tanpa melewati batas-batas fungsi kedua senyawa tersebut. Pengurangan kandungan lignin dalam kayu juga dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan, yakni dapat mengurangi kadar polutan kimia yang dihasilkan dari proses pembuangan lignin selama proses pembuatan kertas dan pulp. Modifikasi kandungan lignin dalam kayu dapat dilakukan melalui pengontrolan enzim-enzim yang terlibat dalam jalur biosintesis lignin. Karena enzim merupakan produk dari gen, maka modifikasi kandungan lignin ini dapat dilakukan melalui modifikasi gen secara rekayasa genetik. Modifikasi gen ini tidak hanya berpengaruh terhadap kuantitas lignin saja, melainkan juga terhadap komposisi dan lokalisasi lignin di dalam kayu.

Pergeseran ketergantungan dari hutan alami ke hutan buatan dalam memenuhi kebutuhan akan kayu memang akan membawa dampak pada perubahan bentuk, kualitas dan performa. Hal ini sebagai akibat tuntutan waktu, dimana hutan buatan dituntut untuk dapat dengan cepat berproduksi. Akan tetapi bila hal ini tidak dilakukan maka penyusutan luas hutan akan terus berlangsung. Oleh karena itu, definisi kualitas untuk kayu perlu kita tinjau kembali, karena sebenarnya definisi kualitas kayu itu sangat bervariasi sesuai dengan penggunaannya. Walaupun demikian, para ahli kehutanan biasanya mendefinisikan kualitas kayu dalam konteks densiti (kepadatan), banyak sedikitnya mata kayu dan keseragaman. Untuk memenuhi standar kualitas ini, tranformasi gen dengan melibatkan gen-gen dari Agrobacterium dalam skala laboratorium secara signifikan dapat memberikan hasil yang positif.

Permasalahan lain dalam mewujudkan suatu hutan buatan yang produktiv adalah pada tahap persiapan dan awal plantasi. Jenis tumbuhan pepohonan yang masih kecil harus berkompetisi dengan tumbuhan-tumbuhan perdu pengganggu (gulma). Sementara itu, penggunaan herbisida yang berlebih bisa memberikan dampak negatif yang lebih jauh. Penggunaan pepohonan transgenik yang membawa gen-gen resisten herbisida dalam plantasi dan reforestrasi adalah salah satu pemecahan yang perlu dipertimbangkan. Kemampuan overekspresi dari gen-gen transgenik menyebabkan tumbuhan mampu mendetoksifikasi herbisida.

Hewan-hewan yang termasuk ke dalam kelompok serangga (insekta) merupakan salah satu yang menjadikan faktor pembatas bagi pertumbuhan tumbuhan dan juga dapat menyebabkan hilangnya daya survival (survival force) pada tumbuhan. Karenanya insekta bisa menurunkan keberhasilan dalam plantasi dan reforestrasi yang telah dipersiapkan dengan biaya yang besar. Penggunaan insektisida dalam jumlah yang besar akan berdampak sama seperti pada penggunaan herbisida. Selain memicu terjadinya seleksi insekta yang resisten, insektisida juga merupakan sumber polutan bagi lingkungan. Bioteknologi melalui rekayasa genetik bisa diaplikasikan untuk menghasilkan jenis-jenis pepohonan yang resisten terhadap insekta. Dalam hal ini transformasi gen-gen yang dapat menghasilkan inhibitor sistem pencernaan insekta ke dalam sel tumbuhan dapat mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh insekta.

Selain hal-hal tersebut di atas, reforestrasi dengan melibatkan tumbuhan-tumbuhan dari jenis terpilih biasanya juga akan mendatangkan kendala yang berkaitan dengan sensitivitas tumbuhan terhadap faktor lingkungan. Tumbuhan-tumbuhan yang sensitif terhadap faktor lingkungan seperti suhu, kandungan logam berat dalam tanah dan keasaman tanah tidak akan mudah tumbuh bila kondisi lingkungan tidak mendukung. Melalui rekayasa genetik kita bisa menciptakan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki toleransi tinggi terhadap faktor lingkungan tersebut. Terciptanya tumbuhan yang toleran terhadap faktor abiotik lingkungan juga memungkinkan terjadinya apa yang disebut dengan fitoremediasi (perbaikan kondisi tanah atau air yang terkontaminasi dengan bahan-bahan beracun, seperti logam berat dengan bantuan tumbuhan). Penggunaan tumbuhan dalam membersihkan lingkungan terpolusi saat ini sangat dianjurkan, baik dalam menstabilkan bahan-bahan polutan, maupun dalam mengeliminasi bahan-bahan tersebut dari tanah.

Aplikasi bioteknologi dalam bidang kehutanan seperti yang telah diuraikan di atas, bukanlah hanya sekedar teori. Usaha-usaha melalui uji coba dari skala laboratorium hingga penerapannya di lapangan, bahkan perhitungan secara ekonomi untuk skala hutan indistri telah dilakukan di beberapa negara seperti Canada dan New Zealand. Dengan melihat laju deforestrasi di negara kita yang saat ini masih terus berlangsung, aplikasi bioteknologi akan sangat bermanfaat dalam menciptakan hutan industri yang cukup berkualitas, dimana kebutuhan akan kayu baik untuk bahan kontruksi maupun untuk bahan baku kertas dan pulp ataupun sebagai sumber energi tidak lagi tergantung pada hutan-hutan alami yang ada. Secara tidak langsung terciptanya hutan sebagai produk bioteknologi juga dapat menjaga lestarinya keanekaragaman hayati yang ada. Disamping itu, sumber daya hutan akan mampu secara berkelanjutan menunjang kehidupan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bukankah hal yang demikian yang kita inginkan dalam pembangunan negara kita? 

__________________
*Staf akademik pada Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. 
Saat ini terdaftar sebagai doktoran pada AG Angewandte Botanik, Institut für Biologie der HU-Berlin
.

 
--- --